" THE MEANING OF THE RATTIGA PHILOSOPHY IN THE PALLAKE TRADITION RITUAL OF PADANG MANDAR VILLAGE ONGKO"

 Abstract. This study aims to discover the meaning of Rattiga philosophy in the Pallake tradition of the Padang Mandar  community. Rattiga as a socio-cultural artifact is studied using anthropolinguistic theory with the perspective of semiotics  Roland Barthes and Charles Sanders Peirce. This type of research is a qualitative research with descriptive qualitative  methods. Structured observations and interviews with community leaders, traditional leaders and village government are the  steps to collect this research data. The location of the study was in the village of Ongko, Campalagian District. Research found  that Rattiga has philosophical significance; (a) as a lamp of goodness; (b) the people of Padang Mandar providing solutions 

in the community; (c) and useful for humans — nature — the environment. 

Keywords: Rattiga, Pallake, The meaning of philosophy 


Pendahuluan 

 Dalam rangkaian prosesi perkawinan masyarakat Padang Mandar biasanya dipertunjukkan Tari Pallake.  Pelaksanaannya biasanya sebelum hari pelaksanaan perkawinan. Sesuai kebiasaan komonitas ini, tiga hari atau  sehari sebelum dilangsungkannya akad nikah. Pihak keluarga mencari hari baik dan bersepakat dengan Sando  (dukun). Dalam acara yang sudah sangat langka ini, terkadang orang hanya melihat aspek pertunjukannya saja  (tari). Padahal, pelaksanaan tari Pallake di dahului sebuah ritual sakral yang dipimpin oleh seorang Sando. Pihak  mempelai wanita atau pria yang melaksanakan ritual tradisi ini hendaknya ikut menyaksikan prosesi tersebut. Hal  ini disebabkan karena pesan-pesan moral dalam ritual tradisi ini sangat banyak. 

 Sebelum pertunjukan tari Pallake, dilakukan persiapan, yaitu dengan menyiapkan berbagai peralatan dan  beberapa jenis panganan. Selanjutnya, semua peserta yang terlibat acara mengelilingi alat-alat dan panganan.  Sando akan memulai ritual dengan membakar Rattiga, memberi mantra, memasangkan pakaian penari,  diantaranya sokko tandu (tanduk kerbau). Lalu, seorang wanita menghamburkan beras ke arah dua orang penari  dan dua pemusik. Setelah tarian selesai, Sando memberi makan seekor ayam dengan beras dan tepung. Kemudian,  ayam tersebut dicera’ (mengeluarkan darah dari pial ayam). Pada bagian akhir, kegiatan maccobbo (tepung  dioleskan sedikit oleh Sando) ke bagian wajah dan kedua telapak tangan pengantin. 

 Kegiatan tari Pallake sesungguhnya hanya sebuah bagian dari sebuah ritual tradisi yang dimiliki oleh  komunitas Padang Mandar. Tradisi ini tidak dimiliki atau boleh dilakukan oleh komunitas lain dalam masyarakat  Mandar. Bahkan tradisi ini menjadi ajang pembuktian jati diri dan identitas seorang Padang Mandar. Disamping,  adanya mitos yang berkembang dalam komunitas ini. Mereka beranggapan bahwa barang siapa dari komunitas  Padang Mandar memiliki hajatan (kelahiran, aqikah, sunatan, dan perkawinan) dan tidak melaksanakan ritual  Pallake, maka keluarga tersebut akan terkena bala atau musibah. 

 Geertz mengungkapkan bahwa budaya sebagai sistem-sistem yang saling terkait dari tanda-tanda yang  dapat ditafsirkan (simbol-simbol), kebudayaan bukanlah sebuah kekuatan, sesuatu untuk memberi ciri kausal pada  peristiwa-peristiwa sosial, perilaku-perilaku, pranata-pranata, atau proses-proses. Menurut Geertz, kebudayaan  adalah sebuah konteks, sesuatu yang di dalamnya semua hal itu dapat dijelaskan secara mendalam [1]. Geertz  berkesimpulan bahwa analisis kebudayaan (seharusnya) adalah menerka makna-makna, menaksir terkaan-terkaan itu, dan menarik kesimpulan eksplanatoris dari terkaan-terkaan yang lebih baik, bukannya menemukan benua  makna dan memetakan pandangannya yang tak berwujud.  

 Peristiwa ritual Pallake meninggalkan banyak sistem simbol yang sangat menarik untuk ditafsirkan.  Menebak tanda-tanda yang diperlihatkan oleh tradisi ini akan sangat membantu memahami pandangan hidup— ideologi—kosmologi masyarakat Padang Mandar yang selama ini kurang terekspos. Rattiga (pelita) yang  digunakan dalam ritual tersebut sangat berbeda bentuknya dengan pelita yang pernah ada dalam kehidupan  masyarakat Padang Mandar. Rattiga terdiri dari tiga susun, bagian teratas dengan satu sumbu, bagian tengah  dengan tujuh sumbu, serta bagian bawah dengan empat buah sumbu. Mengapa bentuk Rattiga ini berbentuk tiga  bagian dengan jumlah sumbu yang berbeda-beda serta tidak simetris dari segi jumlah. Hal ini tentunya  mengandung makna yang membutuhkan terkaan tepat untuk mengetahui kandungannya. 

 Pelras [2] menyatakan bahwa aspek-aspek bendawi dari suatu kebudayaan dapat berbicara banyak tentang  suatu kelompok manusia tertentu. Menurutnya, aspek-aspek tersebut dapat memperlihatkan cara bagaimana  anggota kelompok tersebut, pada suatu masa, dalam kondisi sejarah, dan keadaan ekonomi tertentu, dapat  mememenuhi keperluan baru atau menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan yang berubah. Demikian halnya  dengan Rattiga dalam komunitas Padang mandar. Bentuk yang unik pastilah merefleksikan sebuah makna filosofi  mendalam dan memiliki kegunaan bagi kehidupan manusia Padang Mandar.  


Tinjauan Pustaka 

 Tiga gagasan analitis dalam linguistik antropologi, yaitu (1) competence dan performance, (2)  indeksikalitas, dan (3) partisipasi [3]. Competence merupakan sistem pengetahuan suatu bahasa (budaya) yang  dikuasai oleh penutur bahasa atau budaya tertentu. Performance merupakan pemakaian bahasa dalam situasi tutur  sebagai refleksi sistem bahasa yang ada dalam pikiran penutur. Indeksikalitas adalah tanda yang memiliki  hubungan eksistensial dengan yang diacunya. Serta, partisipasi adalah keterlibatan penutur dan lawan dalam  menghasilkan tuturan. Selanjutnya, Roland Barthes [4] meneruskan pemikiran Ferdinand De Saussure [5] dengan  menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara  konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini  dikenal dengan “Order of Significations” (tatanan pertandaan), terdiri dari: (1) Denotasi. Makna kamus dari  sebuah kata atau terminologi atau obyek (literal meaning of a term or object); (2) Konotasi. Makna-makna kultural  yang melekat pada sebuah terminologi (the cultural meanings that become attached to a term).  

 Pemikiran Roland Barthes [6] ini menggambarkan interaksi yang terjadi terjadi ketika tanda bertemu  dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna yang  subjektif atau paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap  sebuah objek, sedangkan makna konotasi adalah bagaimana cara menggambarkannya. Konotasi bekerja dalam  tingkat subjektif sehingga kehadirannya tidak disadari. Pembaca mudah sekali membaca makna konotatif sebagai  fakta denotatif. Karena itu, salah satu tujuan analisis semiotika adalah untuk menyediakan metode analisis dan  kerangka berpikir dan mangatasi terjadinya salah baca (misreading) atau salah dalam mengartikan makna suatu  tanda. 

 Charles Sanders Peirce [7] mengatakan bahwa tanda dapat merepresentasi objek. Peirce melihat sebuah  tanda terdiri atas representamen atau signifier, interpretant atau signified dan objek. Berdasarkan kualitas material  antara representamen dan obyeknya, Peirce membagi tanda menjadi icon, index dan symbol. Sebuah ikon adalah  tanda yang menyerupai obyeknya sebagaimana gambar seekor hewan dan hewannya itu sendiri. Indeks adalah tanda yang hubungan antara representamen dan obyeknya terjadi karena adanya hubungan eksistensial dengan  obyeknya seperti asap sebagai indeks adanya api, atau awan hitam sebagai indeks akan turunnya hujan. Simbol menurut Peirce adalah tanda yang hubungan antara signifier dan signifiednya terjadi karena bukan karena adanya  kesamaan antara keduanya melainkan karena hubungan itu sudah menjadi aturan, kesepakatan atau konvensi  antarpengguna tanda itu. 


Pembahasan 

 Bentuk Rattiga atau pelita yang ditemukan di rumah penduduk komunitas Padang Mandar terbuat dari  botol atau kaleng kecil dengan sumbu tunggal di tengahnya. Namun, Rattiga dalam acara ritual tradisi Pallake  sangat jauh berbeda. Bentuknya bersusun tiga, bagian bawah dengan empat buah sumbu, bagian tengah dengan  tujuh buah sumbu, serta bagian teratas dengan satu buah sumbu.  

 Rattiga akan dinyalakan sebagai tanda acara ritual akan segera dimulai. Hal ini membuktikan bahwa benda  ini sangan besar perannya. Jika Rattiga belum dinyalakan oleh Sando berarti upacara tersebut belum siap untuk  dilaksanakan. Peristiwa ini sesungguhnya dapat dihubungkan dengan fungsi awal diadakannya tradisi Pallake.  Pada zaman pemerintahan raja dalam komunitas Padang Mandar, Pallake biasa dilaksanakan pada dua kegiatan  saja, yaitu pada pelantikan raja/adat, dan penjemputan panglima “punggawa” sepulang dari perang. Namun,  ketika kerajaan sudah tidak ada lagi, maka Pallake dilaksanakan pada acara perkawinan, tujuh bulanan, aqiqah,  dan khitanan.Tradisi ritual ini tidak dapat ditemukan dalam acara lain, misalnya syukuran, mendirikan rumah,  prosesi tanam hingga pesta panen dan lain-lain. 

 Pada pelantikan seorang raja/adat, Rattiga menyimbolkan seorang raja/adat harus menjadi penerang bagi  masyarakat Padang mandar yang dipimpinnya. Penerangan yang diberikan harus menuju jalan kebenaran,  sehingga penegakan hukum dilaksanakan dengan seadil-adilnya. Raja/adat pun harus mampu memberikan ruang  kepada masyarakat untuk memberikan aspirasinya sehingga raja/adat tidak bertindak semena-mena. Pelita juga  sebagai sebuah sarana mencapai kebenaran. Artinya, masyarakat Padang mandar diharapkan untuk selalu  menuntut dan mencapai tingkat manusia sempurna. Manusia yang jauh dari sifat angkara—perusak—dzalim  terhadap sesama.  

 Dalam acara penjemputan panglima/punggawa sepulang dari perang, Rattiga dapat dimaknai sebagai  peperangan harus dimenangkan untuk menegakkan kebenaran, bukan untuk menghancurkan sebuah kaum. Nyala  pelita juga memberikan petunjuk bahwa masyarakat Padang Mandar menganggap peperangan untuk mencapai  kebenaran bisa dilakukan pada malam hari dengan bantuan nyala obor/pelita. Peperangan akan selalu  mengakibatkan kehancuran umat manusia, tua, muda, anak-anak, akan terkena imbasnya. Peperangan seharusnya  tidak terjadi jika setiap manusia memiliki sifat penerang selalu mencari kebaikan bukan kebinasaan. Mencari jalan  damai untuk menyelesaikan segala masalah yang dihadapi oleh masyarakat Mandar pada umumnya. Dari konsep  berpikir ini, komunitas Padang Mandar mendapat lima julukan. Gelar ini diberikan masyarakat Pitu Ulunna Salu  dan Pitu Ba’bana Binanga (tana Mandar) merujuk kepada Rattiga (pelita/obor/penerang).


Gelar pertama, yaitu Rattiga tappi’ dena pitu ba’bana

binanga (lampu tak akan padam di tujuh kerajaan  muara sungai). Komunitas Padang mandar akan selalu menjadi penerang, memberikan petuah, petunjuk, masukan,  yang bijaksana bagi tujuh kerajaan yang ada di muara sungai. Ketujuh kerajaan tersebut, yaitu kerajaan Balanipa,  kerajaan Binuang, kerajaan Sendana, kerajaan Banggae, kerajaan Pamboang, kerajaan Mamuju, kerajaan  Tappalang. Padang Mandar akan berupaya sekuat tenaga untuk menjadi sumber kemaslahan bagi tujuh kerajaan.  Padang Mandar akan selalu menjadi motivator penyelesaian berbagai persoalan di tanah mandar. Bagi komunitas  ini tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan dengan baik.

Gelar kedua, kedua Ballo-ballo

karurungna pitu ulunna salu (obor terang tujuh kerajaan di hulu sungai).  Jika gelar pertama sebagai penerang bagi tujuh kerajaan di muara suangai, maka gelar kedua ditujukan untuk  kerajaan di hulu sungai. Keberadaan Padang Mandar dalam sejarah terbukti telah menjadi Banapilla (tali  penghubung) antara dua wilayah kerajaan, yaitu pitu ulunna salu dan pitu ba’bana binanga. Terjadinya konflik  di dua daerah ini diredahkan dengan mediasi yang dilakukan oleh komunitas padang Mandar. Bukti autentiknya  terlhat pada prasasti Allamunanbatu di Luyo yang berjumlah tiga buah. Bukan hanya posisinya secara geografis  berada ditengah, tetapi komunitas ini juga mampu menjadi penengah dari serangkaian konflik dari kedua pihak.

Gelar ketiga, ketiga Jangan-jangan mari’bana appe banua kaiyang (merpati lincah empat daerah besar).  Banua Kaiyang (wilayah/daerah besar), yaitu Napo, Samasundu, Mosso, dan Todang-todang. Dalam kerajaan  Balanipa Appe’ Banua Kaiyangini termasuk dalam dewan adat bersama dengan Papuangan Limboro dan  Papuangan Biringlembang dengantugas mengangkat dan memberhentikan raja setelah di mufakati di rapat dewan  adat. Komunitas Padang Mandar sebagai merpati/burung yang lincah dalam menyatukan visi empat daerah besar  untuk tidak bersilang pendapat dalam memilih calon pemimpin kerajaan. Kemampuannya memediasi pilihan yang  berbeda untuk diajukan dalam pertemuan dewan adat telah terbukti ampuh. Gelar ini adalah bukti kemampuan  menyatukan pendapat memilih satu pemimpin yang tepat memimpin Balanipa.

Gelar keempat, Lima kananna mattinande pitu ba’bana binanga (tangan kanannya menyangga tujuh  keraaan di muara sungai). Dan gelar kelima, Lima kairinna mattinande pitu ulunna salu (tangan kirinya  menyangga tujuh kerajaan di hulu sungai). Kedua gelar ini memperlihatkan sifat ksatria komunitas Padang  Mandar. Jika kedua kerajaan ini membutuhkan bantuan, maka komunitas Padang Mandar akan memberikan  bantuan dalam bentuk apa pun. Sebuah ungkapan dalam masyarakat ini menjadi refleksinya: Moa polemi polena,  diamme tammala, ditiluwang tammala, dili’ai tammala, dissului tammala, lamui naung ingga utti, mokai waona  lino diengei naunna wonro, dotai mate, dadi tuo masiri diwaona lino. O...diada di beasa. (bila saatnya telah tiba,  ditelan tidak bisa, dimuntahkan tidak mungkin, dilangkahi tidak dapat, merunduk juga tidak bisa, menanam kaki

hingga lutut, jika di atas tanah sudah tidak mau didiami, mari berdiam di bawahnya, lebih baik hancur berkalang  tanah daripada hidup menanggung malu di dunia ini. Dengan ketentuan harus berada dipihak yang benar).  Untuk lebih jelasnya, makna Rattiga dapat dicermati dalam table berikut dengan memakai konsep Charles  Sanders Peirce.

Tabel 1. Interpretasi Makna Rattiga Model Semiotika Charles Sanders Peirce.

Sign Objek Interpretan Keterangan   Rattiga

(pelita/obor) Pelita Dukun membakar semua Acara akan segera  Berbentuk tiga sumbu Rattiga (pelita) dimulai dipimpin  Susun Sando (dukun)

Rattiga Tingkat Empat buah Banua Kayyang (4 wilayah Anggota

adat  Dasar sumbu besar; Napo, Samasundu, Balanipa   Mosso, dan Todang-todang

Rattiga Tingkat Tujuh buah Pituulunna salu dan Pitu

Mandar  Tengah sumbu Ba’bana Binanga

Rattiga Tingkat Satu Sumbu Obor di Tanah Mandar Menerangi

Mandar

Satu sumbu menunjukkan jiwa sufistik

komunitas Padang Mandar, bermakna hanya satu jiwa manusia,  satu Tuhan pemilik siang dan malam, pengendali alam dan jagad raya. Satu tempat akan kembali manusia, yaitu  alam tempat kekal segala sesuatu. Sementara, tujuh sumbu pada bagian tengah Rattiga menggambarkan pola  berpikir komunitas Padang Mandar: hanya ada tujuh hari dalam dunia manusia sehingga harus diisi dengan  kebaikan dan saling tolong-menolong. Langit memiliki tujuh lapis, tujuh hari pula dibentuk oleh Allah. Bagian  bawah dengan empat sumbu bermakna empat Banua Kaiyyang mewakili salah satu lembaga adat di Balanipa.  Artinya, kaki manusia harus melangkah berlandaskan pada aturan-adat. Untuk itulah dibutuhkan hukum yang  mengatur kehidupan manusia, menjadi landasan hidup—pedoman dalam berinteraksi sesama manusia—alam— Tuhan. Dan pola keyakinan tradisional mereka memandang empat alam, yaitu alam ruh, dunia, kubur dan akhirat.

Penutup

Rattiga (pelita) dalam ritual Pallake bagi masyarakat Padang Mandar bukan hanya sebagai

alat penerangan  belaka. Makna filosofi Rattiga menggambarkan sejarah masa lalu komunitas Padang Mandar sebagai pelita  kebaikan—pencetus berbagai solusi yang dihadapi oleh kerajaan pitu ulunna salu dan pitu ba’bana binanga  (Mandar). Filosofi Rattiga harus menjadi sandaran masyarakat Padang Mandar dalam bertindak di dunia sehingga  dapat berguna bagi manusia—alam—dan lingkungan.

Daftar Pustaka

[1] Geertz, Clifford. Tafsir

Kebudayaan (terjemahan). Yogyakarta: Kanisius. 2014:17.

[2] Pelras, Christian. Manusia Bugis (terjemahan). Jakarta: Nalar bekerja sama Forum Jakarta-Paris, EFEO. 2006: 263.

[3] Duranti, Alessandro. Linguistic Anthropology. University Press Cambridge: Cambridge. 2000:14-21. [4] Barthes, Roland. Mitologi (terjemahan). New York: Hill & Wang. 1983.

[5] Saussure, Ferdinad de. Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada Universty Press. 1988 [6] Barthes, Roland. Imaji Musik Teks (terjemahan). London: Fortana Press. 1990.

[7] Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2004.

[8] S, Hikmawati. 2010. Skripsi. Tari Pallake Pada Acara Perkawinan di Desa Ongko Kecamatan Campalagian  Kabupaten Polewali Mandar. UNM (tidak diterbitkan).

[9] Informan:

1. Camada, Umur: 80 Tahun,

Pekerjaan sebagai Sando (Dukun)/Petani

2. Herman Tjaibi, Umur: 47 Tahun,

Pekerjaan Kepala Desa Ongko

3. Abdul Karim, Umur: 75 Tahun,

Pekerjaan Petani sebagai Penari



Makalah dengan judul: " THE MEANING OF THE RATTIGA PHILOSOPHY IN THE PALLAKE TRADITION RITUAL OF PADANG MANDAR VILLAGE ONGKO" termuat dalam buku kecil: International Conference on Linguistics and Cultural Studies (Makassar 1-2 November 2019)
" THE MEANING OF THE RATTIGA PHILOSOPHY IN THE PALLAKE TRADITION RITUAL OF PADANG MANDAR VILLAGE ONGKO" " THE MEANING OF THE RATTIGA PHILOSOPHY IN THE PALLAKE TRADITION RITUAL OF PADANG MANDAR VILLAGE ONGKO" Reviewed by idiomatik on May 18, 2022 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.