Mahfuddin
Mahasiswa S3 Ilmu Linguistik UNHAS (Dosen Pascasarjana Universitas Muslim Maros)
Email: mahfuddinsyamsuddin@gmail.com
Abstrak
This research seeks to describe the symbolic
meaning in the Pallake ritual tradition in the Padang Mandar Community,
Campalagian District, Polman Regency. The Pallake ritual tradition in the
community in Ongko Village, Campalagian District, reflects attitudes and
beliefs about human relations with God, nature, and others. A qualitative
descriptive approach is used to explain the phenomenon of signs that appear in
the ritual tradition based on the study of Charles Sanders Peirce's semiotic
theory and Roland Barthes. The phenomenon of signs can be in the form of
objects, words (words), or movements that appear in the ritual. The results
showed that the Padang Mandar community in Ongko Village, Campalagian
Subdistrict, believed that the Pallake ritual tradition had concrete
implications in life. Symbolic meaning can be found in the six stages of the
implementation of the Pallake ritual tradition from beginning to end. The
Pallake ritual in the Padang Mandar Community has become a myth: first, this
ritual can only be carried out by the Padang Mandar Pappuangan community;
secondly, if one of the Padang Mandar communities has a celebration and does
not carry out this ritual, then the disaster will befall the family and people
of Pappuangan Padang.
Keywords: Pallake,
Symbolic Meaning, Tradition Ritual
Pendahuluan
Geertz mengatakan bahwa budaya
adalah suatu sistem makna dan simbol yang disusun dalam pengertian di mana
individu-individu mendefinisikan dunianya, menyatakan perasaannya dan
memberikan penilaian- penilaiannya, suatu pola makna yang ditransmisikan secara
historis, diwujudkan dalam bentuk- bentuk simbolik melalui sarana di mana
orang-orang mengkomunikasikan, mengabdikan, dan mengembangkan pengetahuan,
karena kebudayaan merupakan suatu sistem simbolik maka haruslah dibaca,
diterjemahkan dan diinterpretasikan (dalam Tasmuji, 2011: 154).
Lebih jauh Geertz mengungkapkan
bahwa budaya sebagai sistem-sistem yang saling terkait dari tanda-tanda yang
dapat ditafsirkan (simbol-simbol), kebudayaan bukanlah sebuah kekuatan, sesuatu
untuk memberi ciri kausal pada peristiwa-peristiwa sosial, perilaku-perilaku,
pranata-pranata, atau proses-proses. Menurutnya, kebudayaan adalah sebuah
konteks, sesuatu yang di dalamnya semua hal itu dapat dijelaskan secara
mendalam (2014: 17). Geertz (2014: 25) berkesimpulan bahwa analisis kebudayaan
(seharusnya) adalah menerka makna-makna, menaksir terkaan-terkaan itu, dan
menarik kesimpulan eksplanatoris dari terkaan-terkaan yang lebih baik, bukannya
menemukan benua makna dan memetakan pandangannya yang tak berwujud.
Budaya sebagai sistem simbol
sering diterjemahkan oleh masyarakat pemiliknya secara denotatif. Padahal,
budaya sebagai sistem simbol sesungguhnya membutuhkan interpretasi dalam
memaknai fenomena simbol yang ditampakkan oleh sebuah budaya. Interpretasi kita
terhadap simbol dalam sebuah budaya akan menghasilkan transfer pengetahuan di
dalamnya. Ada dua pendapat yang menyatakan bentuk simbol atau simbolisasi dalam
budaya, yakni simbol sebagai sistem yang imanem
(dimensi horisontal) dan simbol itu transenden
dan dalam dialog dengan yang lain ditemukan jawaban (horisontal-vertikal atau
metafisika).
Jika simbol dalam budaya
diinterpretasi akan menghasilkan pengenalan terhadap manusia dalam rentang
peristiwa sejarah kehidupan manusia. Memahami simbol dalam budaya akan membawa
kita masuk ke pemikiran simbolik dari sebuah komunitas dalam memandang
kenyataan hidup mereka. Demikian halnya dengan masyarakat Padang Mandar di Desa
Ongko Kecamatan Campalagian Kabupaten Polman Sulawesi Barat, memiliki
serangkaian sistem simbolik yang memerlukan penafsiran dengan benar untuk
mengetahui maknanya. Salah satu tradisi ritual yang terkenal dalam masyarakat
Padang Mandar, yaitu tradisi ritual
Pallake.
Tujuan penelitian ini untuk
mendeskripsikan makna simbolik dalam tradisi ritual Pallake Komunitas Padang Mandar di Desa Ongko. Tradisi ritual
Pallake masyarakat di Desa Ongko merefleksikan sikap dan keyakinan terhadap
hubungan manusia dengan Tuhan, alam, dan sesama. Penelitian ini diharapkan
dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan pemahaman terhadap tradisi budaya
lokal (Pallake) yang berada diambang
kepunahan. Akhirnya, dengan penelitian ini diharapkan pemerintah dan masyarakat
(khususnya masyarakat Padang Mandar di
Desa Ongko) dapat melestarikan tradisi ritual Pallake agar terhindar dari kepunahan.
Tinjauan Pustaka
Roland Barthes (1983) meneruskan pemikiran
Saussure (1988) dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman
personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan
konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini
dikenal dengan “Order of Significations”
(tatanan pertandaan), terdiri dari: (1) Denotasi. Makna kamus dari sebuah kata
atau terminologi atau obyek (literal
meaning of a term or object); (2) Konotasi. Makna-makna kultural yang
melekat pada sebuah terminologi (the
cultural meanings that become attached to a term).
Pemikiran Roland Barthes (1990) ini
menggambarkan interaksi yang terjadi terjadi ketika tanda bertemu dengan
perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi
mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Dengan kata
lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek,
sedangkan makna konotasi adalah bagaimana cara menggambarkannya. Konotasi
bekerja dalam tingkat subjektif sehingga kehadirannya tidak disadari. Pembaca
mudah sekali membaca makna konotatif sebagai fakta denotatif.
Charles Sanders Peirce (dalam Sobur 2004) mengatakan bahwa tanda dapat merepresentasi objek. Peirce melihat sebuah tanda terdiri atas representamen atau signifier, interpretant atau signified dan objek. Berdasarkan kualitas material antara representamen dan obyeknya, Peirce membagi tanda menjadi icon, index dan symbol. Sebuah ikon adalah tanda yang menyerupai obyeknya sebagaimana gambar seekor hewan dan hewannya itu sendiri. Indeks adalah tanda yang hubungan antara representamen dan obyeknya terjadi karena adanya hubungan eksistensial dengan obyeknya seperti asap sebagai indeks adanya api, atau awan hitam sebagai indeks akan turunnya hujan. Simbol menurut Peirce adalah tanda yang hubungan antara signifier dan signifiednya terjadi karena bukan karena adanya kesamaan antara keduanya melainkan karena hubungan itu sudah menjadi aturan, kesepakatan atau konvensi antarpengguna tanda itu.
Pembahasan
Dalam bahasa Mandar, secara
etimologi Pallake berasal dari kata lake yang berarti pertengahan. Kata ini mendapat awalan aktif –pa + lake terjadi proses
geminasi –ll (ciri bahasa-bahasa di
Sulawesi Selatan dan Barat) menjadi [pallake]. Makna kata ini menunjukkan identitas
wilayah mereka yang berada di antara kerajaan Pitu Ulunna Salu (tujuh kerajan di hulu sungai) dan Pitu Ba’bana Binanga (tujuh kerajaan di
muara sungai). Hal ini juga menunjukkan kepemilikan ritual yang hanya dimiliki
oleh komunitas Padang Mandar. Ritual ini memang hanya boleh dilaksanakan oleh
komunitas Padang Mandar, sedangkan komunitas lain dari wilayah hulu dan muara
sungai tidak boleh melakukan ritual tersebut.
Pada zaman pemerintahan raja
dalam komunitas Padang Mandar, Pallake biasa
dilaksanakan pada dua kegiatan saja, yaitu pada pelantikan raja/adat, dan
penjemputan panglima/punggawa sepulang
dari perang. Namun, ketika kerajaan sudah tidak ada lagi, maka Pallake dilaksanakan pada acara
perkawinan, tujuh bulanan, aqiqah, dan khitanan. Khusus untuk acara perkawinan,
Pallake dilaksanakan tiga sampai
sehari sebelum acara pesta pernikahan dilaksanakan (Hikmawati 2010). Tradisi
ritual ini tidak dapat ditemukan dalam acara lain, misalnya syukuran,
mendirikan rumah, prosesi tanam hingga pesta panen dan lain-lain.
Pallake merepresentasikan sebuah siklus kehidupan manusia,
kelahiran—kehidupan dunia—kematian. Manusia Padang Mandar akan lahir, menjalani
kehidupan dunia, namun, akhirnya akan meninggal untuk menjalani kehidupan yang
lebih kekal (akhirat). Pallake hanya
dapat dilaksanakan dalam empat kegiatan saja, yakni, acara perkawinan, tujuh
bulanan, aqiqah, dan khitanan. Acara hanya boleh dilakukan dalam rangkaian
keempat acara tersebut berkaitan erat dengan konsep Sulapaq
Appeq atau “segi empat” manusia Mandar. Konsep Sulapaq Appeq, yang dimaksud, yaitu tentang Siklus kehidupan
manusia yang terdiri dari lahir, syukuran/ritual/ibadah harian, perkawinan, dan
kematian.
Selain itu, konsep Sulapaq Appeq yang melingkupi ritual Pallake, yaitu keberadaan manusia dalam
alam dunia, pemahaman manusia terhadap penciptaan dirinya, pemahaman hubungan manusia dengan tuhannya,
pemahaman hubungan manusia dengan alam lingkungannya, dan pemahaman manusia
terhadap pemimpinnya. Jadi, Pallake sesungguhnya
berkaitan erat dengan nalar sufisme masyarakat Padang Mandar diimplementasikan
dalam simbol-simbol budaya. Hal ini berangkat dari pemahaman dan keyakinan
tradisional mereka bahwa alam sebagai tempat hidup manusia itu sendiri tidak
terlepas dari empat alam, yaitu alam ruh, alam dunia, alam kubur dan alam
akhirat.
Nama, alat dan
perlengkapan dapat dicermati dalam tabel berikut dengan
memakai konsep Charles Sanders Peirce.
Sign |
Objek |
Interpretant |
Keterangan |
Persiapan
(Mappasadia) |
Semua perlengkapan |
Peserta duduk diam diantara
perlengkapan/pangnan |
Dipimpin Sando |
Mappamula |
Rattiga, kotak & isiannya, sokkol,ayam, kelapa & alat |
Rattiga dinyalakan diantara alat-alat yang telah disediakan, beserta enam orang
penari |
Doa perlindungan kpd pemilik acara, peserta |
Maappu Passinding |
Dupa, Rattiga (pelita), pakaian penari dan Sokko Tandu |
Memantrai peserta ritual, wanita
menghambur beras kepada seluruh peserta ritual |
Memasangkan perlengkapan, pakaian, &
perlindungan secara rohania |
Tari Pallake |
Enam Orang |
2 orang penari (laki-laki), 2 org pemukul gendang, 1 org dukun, dan 1 org
wanita |
Enam orang melakukan tugasnya |
Maccera |
Ayam |
Memberi makan dan memotong Pial Ayam |
Beras, tepung untuk ayam |
Maccobbo |
Tepung dan mempelai |
Dukun mengoleskan tepung ke bagian tubuh mempelai |
Jiwa suci—murni dalam rumah tangga |
Pada bagian persiapan (Mappasadia)
seluruh perlengkapan ritual disiapkan oleh dukun, peserta ritual duduk diantara
alat dan perlengkapan yang telah disediakan sebelumnya. Mappasadia bermakna ‘menyiapkan’
segala perlengkapan, alat dan panganan yang wajib ada. Dalam hal ini, telah
terdapat kesiapan baik lahir maupun batin untuk melaksanakan kegiatan ritual Pallake.
Mappamula ‘memulai’ acara ditandai dengan menyalakan Rattiga (pelita) diantara alat dan perlengkapan acara. Pelita dinyalakan sebagai
simbol penerang, memberikan ruang kebenaran untuk tetap ditegakkan dalam
kehidupan masyarakat Padang mandar. Nyala pelita juga memberikan petunjuk bahwa
masyarakat Padang Mandar menganggap peperangan untuk mencapai kebenaran bisa
dilakukan pada malam hari dengan bantuan nyala obor/pelita. Rattiga bentuknya unik, yaitu bersusun
tiga. Pada bagian bawah dengan empat buah sumbu, menyimbolkan empat buah Banua Kaiyang (wilayah besar), yaitu
Napo, Samasundu, Mosso, dan Todang-todang. Pada bagian tegah terdapat tujuh
buah sumbu, bermakna tujuh kerajaan yang ada dipegunungan dan tujuh di bagian
pantai. Pada bagian atas, terdapat sebuah sumbu, yang menyimbolkan peran besar
komunitas Padang Mandar memprakarsai penyelesaian masalah-masalah dalam
kerajaan Mandar di masa lampau.
Mappu Passinding ‘memberikan
mantra pelindung’ dilakukan oleh seorang dukun. Setelah mantra selesai
dibacakan seorang perempuan masuk melemparkan beras ke arah peserta ritual. Doa
yang dipanjatkan dukun meminta keselamatan kepada peserta ritual, pemilik
hajat, maupun masyarakat Padang Mandar tempat berlangsungnya acara perkawinan.
Mitos yang timbul dalam masyarakat Padang Mandar, bahwa apabila masyarakat
komunitas ini melaksanakan hajatan (perkawinan, tujuh bulanan, aqiqah, dan
khitanan) tidak melaksanakan Pallake, maka
wilayah Padang Mandar dapat terkena bala atau bencana.
Mappu Passinding sebuah kegiatan yang mewujud pada doa keselamatan
terhadap prosesi pelaksanaan perkawinan, kedua pengantin, dan wilayah Padang
Mandar. Doa ini ditujukan kepada Tuhan untuk melindungi mereka dari berbagai
kesulitan hidup. Masyarakat Padang Mandar sangat takut wilayahnya mengalami
kemarau, hal ini berkaitan dengan profesi mereka sebagai petani serta kontur
wilayah berbukit. Jika kemarau berkepanjangan, maka masyarakat akan mengalami
kesulitan mendapatkan air, dan tanaman akan gagal panen. Selain faktor alam,
ketakutan lain mereka adalah letak mereka berada di tengah antara wilayah Pitu Ulunna Salu (tujuh kerajan di hulu sungai) dan Pitu Ba’bana Binanga (tujuh kerajaan di
muara sungai). Wilayah transisi akan mendapatkan banyak pengaruh terhadap kedua
kerajaan pengapitnya. Pengaruh buruk maupun baik semuanya mesti mereka
antisipasi dengan sebaik-baiknya dan selalu berdoa kepada yang Maha Esa sebuah
refleksi Mayarakat Padang yang religius.
Tari Pallake bukan saja
hiburan semata, tetapi wujud keberanian, ketangkasan, keuletan, kekuatan, yang
dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Wujud itu dapat dilihat dalam
kegiatan bermasyarakat yang selalu bersatu dan berani melawan musuh yang hendak
mengganggu wilayah mereka. Khusus untuk pengantin, seorang laki-laki Padang
Mandar harus dapat mengayomi istrinya dengan keuletan, ketekunan dan keberanian
yang mengancam rumah tangganya.
Maccera berasal dari kata cera’ ‘darah’ + ma bermakna mengeluarkan
darah dari pial ayam jantan. Ayam dijadikan simbol tumbal terhadap segala hal
yang bersifat negatif. Secara luas maccera’
menjadi simbol bahwa masyarakat Padang Mandar memerlukan pengorbanan yang
besar dalam menjalani kehidupan berumah tangga. Ayam jantan digunakan untuk
merepresentasikan kegagahan, kejagoan, dan keberanian yang harus dimiliki oleh
laki-laki Padang Mandar dalam mengarungi kehidupan sebagai kepala keluarga.
Sebelum pial ayam
dilukai, terlebih dahulu diberi makan
beras dan tepung. Beras dan tepung secara denotatif merupakan makanan pokok
bagi masyarakat Padang Mandar. Namun, kedua bahan pangan ini dapat diartikan
sebagai sifat terpuji, rendah hati, bersih, dan kejujuran harus dimiliki
seorang lelaki Padang Mandar sebelum memasuki jenjang pernikahan. Karakter ini
harus ada dalam diri seorang pemuda untuk mencapai kehidupan yang bahagia,
tetapi kebahagian terkadang harus ditempuh
dengan cucuran keringat dan darah, seperti menetesnya darah dari pial ayam
jantan.
Maccobbo/Paccobbo ‘tepung
dioleskan ke wajah dan telapak tangan pengantin’, semua berharap calon
pengantin memiliki jiwa suci—murni memasuki sebuah dunia baru. Kemurnian jiwa
akan dapat menangkal segala rintangan dan tantangan yang akan dihadapi dalam
mengarungi rumah tangga. Semua manusia memiliki
fitrah suci. Sehingga, diharapkan agar semua yang melangkah melalui pintu
gerbang pernikahan memiliki niat dan harapan suci. Perkawinan bagi masyarakat Padang
Mandar merupakan jalan memahami hakikat penciptaannya sebagai makhluk,
bagaimana hubungan manusia sebagai hamba dengan tuhan penciptanya, hubungan
manusia dengan alam sekitar yang menyediakan segala kebutuhan hidup serta
bagaimana manusia mampu memahami hakikat diri sebagai pemimpin sekaligus
pengikut/pelayan bagi manusia lain.
Kesimpulan
Ritual tradisi Pallake bagi masyarakat Padang Mandar Desa Ongko bukan semata-mata
seremonial pertunjukan hiburan menjelang pernikahan. Pallake menjadi sebuah pembuktian jati diri sebagai seorang Padang
Mandar bukan komunitas lain. Enam tahapan dalam ritual tradisi ini
memperlihatkan makna simbolik yang mendalam. Keenam tahapan merefleksikan sikap
dan keyakinan sufisme masyarakat Padang Mandar dalam memandang hubungan manusia
dengan Tuhan, alam, dan sesama. Belum lagi, makna yang dapat diungkap dalam
semua benda-benda yang digunakan dalam seluruh rangkaian acara. Akhirnya, Pallake menjadi sebuah mitos yang
diyakini dan dipegang teguh oleh komunitas Padang Mandar hingga kini.
Daftar Pustaka
Barthes, Roland. 1983. Mitologi (terjemahan). New York: Hill
& Wang.
--------------------.
1990. Imaji Musik Teks (terjemahan).
London: Fortana Press.
Geertz, Clifford. 2014. Tafsir Kebudayaan (terjemahan). Yogyakarta:
Kanisius.
Pusat Bahasa: Departemen
Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta: Balai Pustaka.
Saussure, Ferdinad de.
1988. Pengantar Linguistik Umum.
Yogyakarta: Gadjah Mada Universty Press.
Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
S, Hikmawati. 2010. Skripsi. Tari Pallake Pada Acara Perkawinan di Desa Ongko Kecamatan Campalagian
Kabupaten Polewali Mandar. UNM (tidak diterbitkan).
Tasmuji, Dkk. 2011. Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu
Budaya Dasar. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press.
Informan:
1. Camada,
Umur: 80 Tahun, Pekerjaan sebagai Sando (Dukun)/Petani
2.
Herman Tjaibi, Umur: 47 Tahun, Pekerjaan Kepala Desa
Ongko
3.
Abdul Karim, Umur: 75 Tahun, Pekerjaan Petani sebagai
Penari
4.
Hasanuddin, Umur: 36, Pekerjaan petani sebagai Penari
5.
Sunnia, Umur: 56 Tahun, Peranan Piembur (orang yang menghamburkan beras)/Wiraswasta.
6. Matta,
Umur: 48 Tahun, Peranan sebagai Pemusik.
.png)
No comments: