PALLAKE: THE MEANING OF A COMMUNITY TRADITION RITUAL OF PADANG MANDAR

 

http://mugiwaraadil.blogspot.com/2017/04/sekilas-sulawesi-barat.html
Oleh

Mahfuddin 

Mahasiswa S3 Ilmu Linguistik UNHAS (Dosen Pascasarjana Universitas Muslim Maros)

Email: mahfuddinsyamsuddin@gmail.com

Abstrak

This research seeks to describe the symbolic meaning in the Pallake ritual tradition in the Padang Mandar Community, Campalagian District, Polman Regency. The Pallake ritual tradition in the community in Ongko Village, Campalagian District, reflects attitudes and beliefs about human relations with God, nature, and others. A qualitative descriptive approach is used to explain the phenomenon of signs that appear in the ritual tradition based on the study of Charles Sanders Peirce's semiotic theory and Roland Barthes. The phenomenon of signs can be in the form of objects, words (words), or movements that appear in the ritual. The results showed that the Padang Mandar community in Ongko Village, Campalagian Subdistrict, believed that the Pallake ritual tradition had concrete implications in life. Symbolic meaning can be found in the six stages of the implementation of the Pallake ritual tradition from beginning to end. The Pallake ritual in the Padang Mandar Community has become a myth: first, this ritual can only be carried out by the Padang Mandar Pappuangan community; secondly, if one of the Padang Mandar communities has a celebration and does not carry out this ritual, then the disaster will befall the family and people of Pappuangan Padang.

 

Keywords: Pallake, Symbolic Meaning, Tradition Ritual  

Pendahuluan

            Geertz mengatakan bahwa budaya adalah suatu sistem makna dan simbol yang disusun dalam pengertian di mana individu-individu mendefinisikan dunianya, menyatakan perasaannya dan memberikan penilaian- penilaiannya, suatu pola makna yang ditransmisikan secara historis, diwujudkan dalam bentuk- bentuk simbolik melalui sarana di mana orang-orang mengkomunikasikan, mengabdikan, dan mengembangkan pengetahuan, karena kebudayaan merupakan suatu sistem simbolik maka haruslah dibaca, diterjemahkan dan diinterpretasikan (dalam Tasmuji, 2011: 154).

             Lebih jauh Geertz mengungkapkan bahwa budaya sebagai sistem-sistem yang saling terkait dari tanda-tanda yang dapat ditafsirkan (simbol-simbol), kebudayaan bukanlah sebuah kekuatan, sesuatu untuk memberi ciri kausal pada peristiwa-peristiwa sosial, perilaku-perilaku, pranata-pranata, atau proses-proses. Menurutnya, kebudayaan adalah sebuah konteks, sesuatu yang di dalamnya semua hal itu dapat dijelaskan secara mendalam (2014: 17). Geertz (2014: 25) berkesimpulan bahwa analisis kebudayaan (seharusnya) adalah menerka makna-makna, menaksir terkaan-terkaan itu, dan menarik kesimpulan eksplanatoris dari terkaan-terkaan yang lebih baik, bukannya menemukan benua makna dan memetakan pandangannya yang tak berwujud.   

             Budaya sebagai sistem simbol sering diterjemahkan oleh masyarakat pemiliknya secara denotatif. Padahal, budaya sebagai sistem simbol sesungguhnya membutuhkan interpretasi dalam memaknai fenomena simbol yang ditampakkan oleh sebuah budaya. Interpretasi kita terhadap simbol dalam sebuah budaya akan menghasilkan transfer pengetahuan di dalamnya. Ada dua pendapat yang menyatakan bentuk simbol atau simbolisasi dalam budaya, yakni simbol sebagai sistem yang imanem(dimensi horisontal) dan simbol itu transendendan dalam dialog dengan yang lain ditemukan jawaban (horisontal-vertikal atau metafisika).

               Jika simbol dalam budaya diinterpretasi akan menghasilkan pengenalan terhadap manusia dalam rentang peristiwa sejarah kehidupan manusia. Memahami simbol dalam budaya akan membawa kita masuk ke pemikiran simbolik dari sebuah komunitas dalam memandang kenyataan hidup mereka. Demikian halnya dengan masyarakat Padang Mandar di Desa Ongko Kecamatan Campalagian Kabupaten Polman Sulawesi Barat, memiliki serangkaian sistem simbolik yang memerlukan penafsiran dengan benar untuk mengetahui maknanya. Salah satu tradisi ritual yang terkenal dalam masyarakat Padang Mandar, yaitu tradisi ritualPallake.          

             Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan makna simbolik dalam tradisi ritual Pallake Komunitas Padang Mandar di Desa Ongko. Tradisi ritual Pallake masyarakat di Desa Ongko merefleksikan sikap dan keyakinan terhadap hubungan manusia dengan Tuhan, alam, dan sesama. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan pemahaman terhadap tradisi budaya lokal (Pallake) yang berada diambang kepunahan. Akhirnya, dengan penelitian ini diharapkan pemerintah dan masyarakat (khususnya  masyarakat Padang Mandar di Desa Ongko) dapat melestarikan tradisi ritual Pallake agar terhindar dari kepunahan.

Tinjauan Pustaka

           Roland Barthes (1983) meneruskan pemikiran Saussure (1988) dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “Order of Significations” (tatanan pertandaan), terdiri dari: (1) Denotasi. Makna kamus dari sebuah kata atau terminologi atau obyek (literal meaning of a term or object); (2) Konotasi. Makna-makna kultural yang melekat pada sebuah terminologi (the cultural meanings that become attached to a term).

           Pemikiran Roland Barthes (1990) ini menggambarkan interaksi yang terjadi terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan makna konotasi adalah bagaimana cara menggambarkannya. Konotasi bekerja dalam tingkat subjektif sehingga kehadirannya tidak disadari. Pembaca mudah sekali membaca makna konotatif sebagai fakta denotatif.

             Charles Sanders Peirce (dalam Sobur 2004) mengatakan bahwa tanda dapat merepresentasi objek. Peirce melihat sebuah tanda terdiri atas representamen atau signifier, interpretant atau signified dan objek. Berdasarkan kualitas material antara representamen dan obyeknya, Peirce membagi tanda menjadi icon, index dan symbol. Sebuah ikon adalah tanda yang menyerupai obyeknya sebagaimana gambar seekor hewan dan hewannya itu sendiri. Indeks adalah tanda yang hubungan antara representamen dan obyeknya terjadi karena adanya hubungan eksistensial dengan obyeknya seperti asap sebagai indeks adanya api, atau awan hitam sebagai indeks akan turunnya hujan. Simbol menurut Peirce adalah tanda yang hubungan antara signifier dan signifiednya terjadi karena bukan karena adanya kesamaan antara keduanya melainkan karena hubungan itu sudah menjadi aturan, kesepakatan atau konvensi antarpengguna tanda itu.

Pembahasan

             Dalam bahasa Mandar, secara etimologi Pallake berasal dari kata lake yang berarti pertengahan. Kata ini mendapat awalan aktif –pa + lake terjadi proses geminasi –ll (ciri bahasa-bahasa di Sulawesi Selatan dan Barat) menjadi [pallake]. Makna kata ini menunjukkan identitas wilayah mereka yang berada di antara kerajaan Pitu Ulunna Salu (tujuh kerajan di hulu sungai) dan Pitu Ba’bana Binanga (tujuh kerajaan di muara sungai). Hal ini juga menunjukkan kepemilikan ritual yang hanya dimiliki oleh komunitas Padang Mandar. Ritual ini memang hanya boleh dilaksanakan oleh komunitas Padang Mandar, sedangkan komunitas lain dari wilayah hulu dan muara sungai tidak boleh melakukan ritual tersebut.

              Pada zaman pemerintahan raja dalam komunitas Padang Mandar, Pallake biasa dilaksanakan pada dua kegiatan saja, yaitu pada pelantikan raja/adat, dan penjemputan panglima/punggawa sepulang dari perang. Namun, ketika kerajaan sudah tidak ada lagi, maka Pallake dilaksanakan pada acara perkawinan, tujuh bulanan, aqiqah, dan khitanan. Khusus untuk acara perkawinan, Pallake dilaksanakan tiga sampai sehari sebelum acara pesta pernikahan dilaksanakan (Hikmawati 2010). Tradisi ritual ini tidak dapat ditemukan dalam acara lain, misalnya syukuran, mendirikan rumah, prosesi tanam hingga pesta panen dan lain-lain.   

              Pallake merepresentasikan sebuah siklus kehidupan manusia, kelahiran—kehidupan dunia—kematian. Manusia Padang Mandar akan lahir, menjalani kehidupan dunia, namun, akhirnya akan meninggal untuk menjalani kehidupan yang lebih kekal (akhirat). Pallake hanya dapat dilaksanakan dalam empat kegiatan saja, yakni, acara perkawinan, tujuh bulanan, aqiqah, dan khitanan. Acara hanya boleh dilakukan dalam rangkaian keempat acara tersebut berkaitan erat dengan konsep  Sulapaq Appeq atau “segi empat” manusia Mandar. Konsep Sulapaq Appeq, yang dimaksud, yaitu tentang Siklus kehidupan manusia yang terdiri dari lahir, syukuran/ritual/ibadah harian, perkawinan, dan kematian.

             Selain itu, konsep Sulapaq Appeq yang melingkupi ritual Pallake, yaitu keberadaan manusia dalam alam dunia, pemahaman manusia terhadap penciptaan dirinya,  pemahaman hubungan manusia dengan tuhannya, pemahaman hubungan manusia dengan alam lingkungannya, dan pemahaman manusia terhadap pemimpinnya. Jadi, Pallake sesungguhnya berkaitan erat dengan nalar sufisme masyarakat Padang Mandar diimplementasikan dalam simbol-simbol budaya. Hal ini berangkat dari pemahaman dan keyakinan tradisional mereka bahwa alam sebagai tempat hidup manusia itu sendiri tidak terlepas dari empat alam, yaitu alam ruh, alam dunia, alam kubur dan alam akhirat.


              Nama, alat dan perlengkapan dapat dicermati dalam tabel  berikut dengan memakai konsep Charles Sanders Peirce.

 

Sign

Objek

Interpretant

Keterangan

Persiapan (Mappasadia)

Semua perlengkapan

Peserta duduk diam diantara perlengkapan/pangnan  

 Dipimpin Sando

Mappamula

Rattiga, kotak & isiannya, sokkol,ayam, kelapa & alat

Rattiga dinyalakan diantara alat-alat yang telah disediakan, beserta enam orang penari

Doa perlindungan kpd pemilik acara, peserta

Maappu Passinding

Dupa, Rattiga (pelita), pakaian penari dan Sokko Tandu

Memantrai peserta ritual, wanita menghambur beras kepada seluruh peserta ritual

Memasangkan perlengkapan, pakaian, & perlindungan secara rohania

Tari Pallake

Enam Orang

2 orang penari (laki-laki), 2 org pemukul gendang, 1 org dukun, dan 1 org wanita

Enam orang melakukan tugasnya

Maccera

Ayam

Memberi makan dan memotong Pial Ayam

Beras, tepung  untuk ayam

Maccobbo

Tepung dan mempelai

Dukun mengoleskan tepung ke bagian tubuh mempelai 

Jiwa suci—murni dalam rumah tangga

 

            Pada bagian persiapan (Mappasadia) seluruh perlengkapan ritual disiapkan oleh dukun, peserta ritual duduk diantara alat dan perlengkapan yang telah disediakan sebelumnya. Mappasadia bermaknamenyiapkan’ segala perlengkapan, alat dan panganan yang wajib ada. Dalam hal ini, telah terdapat kesiapan baik lahir maupun batin untuk melaksanakan kegiatan ritual Pallake.   

            Mappamula ‘memulai’ acara ditandai dengan menyalakan Rattiga (pelita) diantara alat dan perlengkapan acara. Pelita dinyalakan sebagai simbol penerang, memberikan ruang kebenaran untuk tetap ditegakkan dalam kehidupan masyarakat Padang mandar. Nyala pelita juga memberikan petunjuk bahwa masyarakat Padang Mandar menganggap peperangan untuk mencapai kebenaran bisa dilakukan pada malam hari dengan bantuan nyala obor/pelita. Rattiga bentuknya unik, yaitu bersusun tiga. Pada bagian bawah dengan empat buah sumbu, menyimbolkan empat buah Banua Kaiyang (wilayah besar), yaitu Napo, Samasundu, Mosso, dan Todang-todang. Pada bagian tegah terdapat tujuh buah sumbu, bermakna tujuh kerajaan yang ada dipegunungan dan tujuh di bagian pantai. Pada bagian atas, terdapat sebuah sumbu, yang menyimbolkan peran besar komunitas Padang Mandar memprakarsai penyelesaian masalah-masalah dalam kerajaan Mandar di masa lampau.

            Mappu Passinding ‘memberikan mantra pelindung’ dilakukan oleh seorang dukun. Setelah mantra selesai dibacakan seorang perempuan masuk melemparkan beras ke arah peserta ritual. Doa yang dipanjatkan dukun meminta keselamatan kepada peserta ritual, pemilik hajat, maupun masyarakat Padang Mandar tempat berlangsungnya acara perkawinan. Mitos yang timbul dalam masyarakat Padang Mandar, bahwa apabila masyarakat komunitas ini melaksanakan hajatan (perkawinan, tujuh bulanan, aqiqah, dan khitanan) tidak melaksanakan Pallake, maka wilayah Padang Mandar dapat terkena bala atau bencana.    

             Mappu Passinding sebuah kegiatan yang mewujud pada doa keselamatan terhadap prosesi pelaksanaan perkawinan, kedua pengantin, dan wilayah Padang Mandar. Doa ini ditujukan kepada Tuhan untuk melindungi mereka dari berbagai kesulitan hidup. Masyarakat Padang Mandar sangat takut wilayahnya mengalami kemarau, hal ini berkaitan dengan profesi mereka sebagai petani serta kontur wilayah berbukit. Jika kemarau berkepanjangan, maka masyarakat akan mengalami kesulitan mendapatkan air, dan tanaman akan gagal panen. Selain faktor alam, ketakutan lain mereka adalah letak mereka berada di tengah  antara wilayah Pitu Ulunna Salu (tujuh kerajan di hulu sungai) dan Pitu Ba’bana Binanga (tujuh kerajaan di muara sungai). Wilayah transisi akan mendapatkan banyak pengaruh terhadap kedua kerajaan pengapitnya. Pengaruh buruk maupun baik semuanya mesti mereka antisipasi dengan sebaik-baiknya dan selalu berdoa kepada yang Maha Esa sebuah refleksi Mayarakat Padang yang religius.

            Tari Pallake bukan saja hiburan semata, tetapi wujud keberanian, ketangkasan, keuletan, kekuatan, yang dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Wujud itu dapat dilihat dalam kegiatan bermasyarakat yang selalu bersatu dan berani melawan musuh yang hendak mengganggu wilayah mereka. Khusus untuk pengantin, seorang laki-laki Padang Mandar harus dapat mengayomi istrinya dengan keuletan, ketekunan dan keberanian yang mengancam rumah tangganya.

            Maccera berasal dari kata cera’ ‘darah’ + ma bermakna mengeluarkan darah dari pial ayam jantan. Ayam dijadikan simbol tumbal terhadap segala hal yang bersifat negatif. Secara luas maccera’ menjadi simbol bahwa masyarakat Padang Mandar memerlukan pengorbanan yang besar dalam menjalani kehidupan berumah tangga. Ayam jantan digunakan untuk merepresentasikan kegagahan, kejagoan, dan keberanian yang harus dimiliki oleh laki-laki Padang Mandar dalam mengarungi kehidupan sebagai kepala keluarga.

            Sebelum pial ayam dilukai, terlebih dahulu diberi  makan beras dan tepung. Beras dan tepung secara denotatif merupakan makanan pokok bagi masyarakat Padang Mandar. Namun, kedua bahan pangan ini dapat diartikan sebagai sifat terpuji, rendah hati, bersih, dan kejujuran harus dimiliki seorang lelaki Padang Mandar sebelum memasuki jenjang pernikahan. Karakter ini harus ada dalam diri seorang pemuda untuk mencapai kehidupan yang bahagia, tetapi kebahagian terkadang harus ditempuhdengan cucuran keringat dan darah, seperti menetesnya darah dari pial ayam jantan. 

            Maccobbo/Paccobbo ‘tepung dioleskan ke wajah dan telapak tangan pengantin’, semua berharap calon pengantin memiliki jiwa suci—murni memasuki sebuah dunia baru. Kemurnian jiwa akan dapat menangkal segala rintangan dan tantangan yang akan dihadapi dalam mengarungi rumah tangga. Semua manusia memiliki fitrah suci. Sehingga, diharapkan agar semua yang melangkah melalui pintu gerbang pernikahan memiliki niat dan harapan suci. Perkawinan bagi masyarakat Padang Mandar merupakan jalan memahami hakikat penciptaannya sebagai makhluk, bagaimana hubungan manusia sebagai hamba dengan tuhan penciptanya, hubungan manusia dengan alam sekitar yang menyediakan segala kebutuhan hidup serta bagaimana manusia mampu memahami hakikat diri sebagai pemimpin sekaligus pengikut/pelayan bagi manusia lain.


Kesimpulan

           Ritual tradisi Pallake bagi masyarakat Padang Mandar Desa Ongko bukan semata-mata seremonial pertunjukan hiburan menjelang pernikahan. Pallake menjadi sebuah pembuktian jati diri sebagai seorang Padang Mandar bukan komunitas lain. Enam tahapan dalam ritual tradisi ini memperlihatkan makna simbolik yang mendalam. Keenam tahapan merefleksikan sikap dan keyakinan sufisme masyarakat Padang Mandar dalam memandang hubungan manusia dengan Tuhan, alam, dan sesama. Belum lagi, makna yang dapat diungkap dalam semua benda-benda yang digunakan dalam seluruh rangkaian acara. Akhirnya, Pallake menjadi sebuah mitos yang diyakini dan dipegang teguh oleh komunitas Padang Mandar hingga kini.

Daftar Pustaka

Barthes, Roland. 1983. Mitologi (terjemahan). New York: Hill & Wang.

--------------------. 1990. Imaji Musik Teks (terjemahan). London: Fortana Press.

Geertz, Clifford. 2014. Tafsir Kebudayaan (terjemahan). Yogyakarta: Kanisius.

Pusat Bahasa: Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta: Balai Pustaka.

Saussure, Ferdinad de. 1988. Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada Universty Press.

Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

S, Hikmawati. 2010. Skripsi. Tari Pallake Pada Acara Perkawinan di Desa Ongko Kecamatan Campalagian Kabupaten Polewali Mandar. UNM (tidak diterbitkan).

Tasmuji, Dkk. 2011. Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu Budaya Dasar. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press.

Informan:

1.      Camada, Umur: 80 Tahun, Pekerjaan sebagai Sando (Dukun)/Petani

2.      Herman Tjaibi, Umur: 47 Tahun, Pekerjaan Kepala Desa Ongko

3.      Abdul Karim, Umur: 75 Tahun, Pekerjaan Petani sebagai Penari

4.      Hasanuddin, Umur: 36, Pekerjaan petani sebagai Penari

5.      Sunnia, Umur: 56 Tahun, Peranan Piembur (orang yang menghamburkan beras)/Wiraswasta.

6.      Matta, Umur: 48 Tahun, Peranan sebagai Pemusik.


PALLAKE: THE MEANING OF A COMMUNITY TRADITION RITUAL OF PADANG MANDAR PALLAKE: THE MEANING OF A COMMUNITY TRADITION RITUAL OF PADANG MANDAR Reviewed by idiomatik on June 13, 2022 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.