Dr. Irna Fitriana Thandra, S.S., M.Pd.
Cerita rakyat
salah satu kearifan lokal yang dimiliki hampir semua negara di dunia ini. Tak
terkecuali Indonesia dengan beragam suku, cukup kaya dengan cerita-cerita
rakyat. Masyarakat Sulawesi Selatan juga kaya dengan cerita rakyat satu di
antaranya dongeng “Nene Pakande”. Dongeng ini sangat populer di masanya
terutama generasi tua sebagai media bagi orang tua untuk memberikan ajaran
nilai kehidupan pada anak-anak. Seperti dinyatakan Sulistyarini “Cerita rakyat mempunyai kedudukan dan fungsi yang sangat penting dalam masyarakat pendukungnya. Dalam cerita rakyat mengandung nilai luhur bangsa terutama nilai-nilai budi pekerti maupun ajaran moral. Apabila cerita rakyat itu dikaji dari sisi nilai moral, maka dapat dipilih adanya nilai moral individual, nilai moral sosial, dan nilai moral religi”. Oleh karena itu cerita rakyat menjadi salah satu cara untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan kepada anak-anak. Walaupun di era milenial kini, cerita rakyat hampir punah di masyarakatnya sendiri sebab tergeser dengan cerita-cerita modern seperti Aqua Man. Cerita rakyat yang telah tumbuh dan menjadi salah satu bacaan
anak-anak tanpa disadari banyak mengandung bias gender.
Membicarakan masalah gender, berarti menyoal persoalan yang tiada akhirnya sampai detik ini. Gerakan Pengarus Utamaan Gender (PUG) gencar dilakukan. Akan tetapi ada hal yang mungkin luput dari perhatian kita bahwa ternyata cerita rakyat juga sarat dengan bias gender terhadap perempuan.
Kajian gender merupakan pembahasan yang melihat fakta dan fenomena gender yang ada di masyarakat. Kajian ini berkaitan dengan bidang-bidang dan faktor-faktor kehidupan lainnya seperti ekonomi, pemerintahan, kesehatan, politik, agama, kesenian, teknologi, pendidikan, kepemimpinan, tenaga kerja, kekerasan, dan pelecehan seksual, perdagangan orang, media massa, dan lain-lain (Hanum, 2018:1).
Memahami konsep gender harus dibedakan antara kata gender dan kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan suatu sifat atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, manusia jenis laki-laki adalah manusia yang memiliki atau bersifat seperti manusia yang memiliki penis, memiliki jakala, dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memroduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui. Alat-alat tersebut secara bilogis melekat pada manusia jenis perempuan dan laki-laki selamanya dan tidak dapat dipertukarkan.
Konsep lainnya yang muncul yakni konsep gender, suatu sikap yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa (Fakih, 2013:8).
Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun, pada kenyataannya perbedaan gender melahirkan ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur baik laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut, terutama kaum perempuan paling banyak mengalami ketidakadilan gender tersebut.
Ketidakadilan gender pada perempuan pun ternyata terkuak juga dalam dongeng “Nene Pakande”. Ketidakadilan gender pada perempuan di cerita itu berupa streotipe terhadap perempuan. Si pemilik cerita memilih kata “nene” yang berarti “nenek”. Kata nenek berjenis kelamin perempuan yang disandingkan dengan kata”pakande” (diambil dari bahasa Bugis yaitu kata manre yang berarti makan). Perempuan yang diwakili tokoh “Nene Pakande” digambarkan seorang nenek tua yang rambutnya berwarna putih, memakai konde di kepalanya, wajah yang keriput, dengan badan yang setengah membungkuk, lalu memakai sarung batik dan kemeja. Sekilas terlihat nenek itu hanyalah seorang nenek tua yang biasa-biasa saja yang sedang mencari tempat tinggal. Tapi siapa yang menyangka bahwa nenek tua itu adalah seorang siluman yang suka memangsa daging manusia terlebihnya daging anak-anak. Penggambaran siluman ditujukan kepada perempuan bukan kepada laki-laki. Stereotipe perempuan pada dongeng bukan hanya pada “Nene Pakande” tetapi cerita lain “Nenek Sihir”, “Kuntilanak”,”Sundel Bolong”, semua merujuk kepada perempuan dengan karakter jahat. Jelas cerita-cerita seperti ini tanpa disadari memberi pelabelan negatif terhadap perempuan. Perempuan selain dilabelkan sebagai penggoda juga pada hal-hal yang bersifat jahat lainnya.
Dalam cerita itu (NenePakande) tokoh perempuan jahat dapat dikalahkan oleh tokoh laki-laki. Ada dua tokoh laki-laki yang dapat mengalahkan “Nene Pakande” yaitu tokoh raksasa. Seperti dikisahkan dalam cerita itu Nene Pakande adalah seorang siluman yang sangat sakti, tak ada seorang manusia biasa pun yang bisa mengalahkan kesaktiannya. Setahuku Nene Pakande hanya takut kepada sosok raksasa yang bernama Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale adalah sesosok raksasa yang tingginya diperkiran 7 hasta dengan badan yang sangat besar, dia juga suka memakan daging manusia. Akan tetapi dia adalah raksasa yang baik hati, hanya memakan manusia yang bersifat buruk dan manusia yang tidak disukainya.
Tokoh raksasa yang digambarkan sebagai makhluk yang berjenis laki-laki dengan ciri fisik berbadan besar, berbeda dengan penggambaran “Nene Pakande” seorang perempuan tua yang sangat jahat senang memangsa anak-anak dan bayi. Sebuah penggambaran negatif pada perempuan yang bertentangan dengan pndangan umum perempuan biasa digambarkan secara naluriah penyayang dan mencintai anak-anak. Sedangkan raksasa digambarkan raksasa yang baik hati hanya memakan manusia yang bersifat buruk dan manusia yang tidak disukainya. Tokoh laki-laki lain yang dapat mengalahkan perempuan dalam cerita itu dikisahkan seorang pemuda. Pemuda tersebut bernama La Beddu, dia adalah pemuda yang cerdik, pandai, lagi berani. Dia dikenal warga sebagai pemuda yang ramah, taat beribadah, dan suka membantu orang yang sedang tertimpa masalah. Penggambaran laki-laki yang super hero sangat ditonjolkan dalam cerita ini.
Ini sebuah fenomena dalam cerita tentang bentuk bias gender yang dialami perempuan khususnya pada stereotipe. Secara umum stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Stereotipe selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Salah satu jenis stereotipe yaitu yang bersumber dari pandangan gender (Fakih, 2013: 16).
Semua bentuk ketidakadilan gender sebenarnya berpangkal pada satu sumber kekeliruan yang sama, yaitu stereotipe gender laki-laki dan perempuan. Stereotipe itu sendiri berarti pemberian citra baku atau label/cap kepada seseorang atau kelompok yang didasarkan pada suatu anggapan yang salah atau sesat.
Pelabelan umumnya dilakukan dalam dua hubungan atau lebih dan seringkali digunakan sebagai alasan untuk membenarkan suatu tindakan dari satu kelompok atas kelompok lainnya. Pelabelan juga menunjukkan adanya relasi kekuasaan yang timpang atau tidak seimbang yang bertujuan untuk menaklukkan atau menguasai pihak lain. Pelabelan negatif juga dapat dilakukan atas dasar anggapan gender. Namun seringkali pelabelan negatif
ditimpakan kepada perempuan.
Dari fenomena cerita rakyat maupun cerita mistis di Indonesia baik yang dikemas dalam buku cerita anak maupun yang ditayangkan dalam bentuk film dan sinetron pihak perempuan selalu dikalahkan oleh tokoh laki-laki. Mungkin sekali, hantu perempuan adalah bentuk perlawanan halus. Ketika di dunia nyata mereka dikalahkan kaum laki-laki, kaum perempuan
membalaskan dendam di dunia rekaan dan mitos. Atau, hantu-hantu perempuan ini justru diciptakan kaum laki-laki. Perempuan yang jadi hantu biasanya arwah penasaran yang punya dendam. Pada akhirnya, sebagaimana lazimnya film-film horor Indonesia era Orde Baru, hantu perempuan dikalahkan kyai (baca: laki-laki). Si hantu dinasihati agar sadar dan kembali ke jalan yang benar. Lagi-lagi pada akhirnya lelaki yang jadi pahlawan.
Lantas, sampai kapan perempuan jadi jahat atau hantu dan lelaki
jadi pahlawan? Pengabdi Setan versi 2017 yang meraup 3 jutaan penonton pun tak
hendak mendobrak kebiasaan ini. Kapan soal hantu ini terbebas dari bias gender?
No comments: