Jurnal Silabi Education. Jurnal Ilmu Pengetahuan Umum. Jurnal Vol. VII No. 2 (Oktober-Desember 2018)
Oleh
Mahfuddin,S. S.,M. Hum.
Irna Fitriana,M. Pd.,
Tulisan ini bertujuan menemukan penyebab bahasa Indonesia sulit menjadi bahasa utama dalam pergaulan di kawasan Asia Tenggara (ASEAN). Negara-negara di kawasan ASEAN merupakan kelompok masyarakat dengan bahasa rumpun Melayu Austronesia, seharusnya membawa kepada satu visi dan misi dalam membangun kawasan. Lebih mudah menghadapi tantangan global dalam dunia internasional apabila mereka bersatu. Salah satunya dengan pengunaan satu bahasa pergaulan kawasan regional ASEAN. Usulan menggunakan bahasa Indonesia untuk menjadi bahasa ASEAN telah dinyatakan melalui forum-forum resmi ASEAN. Namun, implementasi dilapangan masih jauh dari harapan. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif untuk mencapai tujuan penelitian. Dan, hasil penelitian menemukan bahwa implementasi penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan negara- negara di ASEAN, mendapatkan banyak kendala baik dari dalam negeri maupun dari luar negara sahabat. Kendala sikap bahasa, politik, dominasi ekonomi, dan budaya merupakan hal-hal yang menyebabkan hal tersebut terjadi.
Kata Kunci: Citra Bahasa, Sikap bahasa
A. Pendahuluan
Beberapa negara di Asia Tenggara memiliki latar belakang sejarah yang hampir sama, misalnya budaya, persebaran nenek moyang, negara bekas jajahan, kecuali Thailand. Kesamaan ini membawa negara-negara di kawasan ini membentuk ASEAN (Association of Southeast Asian Mations) melalui Deklarasi Bangkok tanggal 8 Agustus 1984. Hingga saat ini jumlah negara yang bergabung dalam ASEAN sebanyak sebelas negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, Singapura, Brunai Darussalam, Myanmar, Laos, Kamboja, dan Timor Leste. Secara garis besar tujuan didirikannya ASEAN adalah mengadakan kerjasama antar Negara anggota ASEAN di bidang ekonomi, sosial, dan kebudayaan.
Tahun 2013, Gita Wirjawan pejabat Menteri Perdagangan RI mengusulkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa ASEAN. Hal tersebut diungkapkannya saat ia menjadi keynote speaker dalam sebuah seminar di Jakarta. Menurutnya, bahasa 2 Indonesia merupakan rumpun bahasa Melayu dengan jumlah penutur terbanyak ke-7 di dunia. Hal senada dilontarkan oleh Dr. Marzuki Alie mantan ketua DPR RI dalam pidato resminya di depan sidang ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) beberapa waktu lalu mengusulkan bahasa Indonesia dijadikan bahasa resmi dalam sidang parlemen ASEAN, dengan alasan bahasa Indonesia, Malaysia, dan Melayu merupakan bahasa terbanyak digunakan di kawasan ASEAN (dalam Muhammad Darwis, 2013: 3).
Sejalan dengan usulan Dr. Marzuki Ali, dan Gita Wirjawan, pakar Bahasa Indonesia dari ITB Prof. Dr. Mahsun mengatakan bahwa Bahasa Indonesia perlu diinternasionalisasi agar bisa menjadi bahasa ASEAN. Pengusulan ini didasarkan kepada jumlah penutur Bahasa Indonesia yang paling besar dibandingkan dengan bahasa lain di Asia Tenggara. Namun, dalam kenyataannya Bahasa Indonesia kalah bersaing dan terancam tergeser oleh Bahasa Inggris dalam pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), ungkapnya. Lebih disayangkan, saat ini masyarakat Indonesia cenderung mengajarkan anak-anak usia dini Bahasa Inggiris dibandingkan Bahasa Indonesia. Pada gilirannya generasi muda akan kehilangan identitas, sementara bangsa yang memiliki identitas kuat akan memenangkan MEA, kata Mahsun (Tribun Bone edisi 16 Des 2015). Problematika ini menjadi sebuah PR buat pemerintah untuk menjaga dan melestarikan Bahasa Indonesia untuk tidak ditinggalkan penuturnya.
Pengusulan itu tentu tidak akan mudah diterima oleh negara-negara sahabat. Karena, sebelumnya diketahui bahwa bahasa Inggris yang dijadikan sebagai bahasa resmi ASEAN. Ini membuktikan lagi bahwa, kita negara-negara serumpun Melayu tetap saja dijajah secara bahasa oleh budaya barat. Sementara, kita tahu bahwa bahasa Melayu adalah hasil budaya dari Asia Tenggara, budaya yang harus dijaga bersama oleh orang Asia tenggara sendiri. Tetapi kenyataannya, negara-negara ASEAN tidak dapat bersepakat mengangkat bahasa Melayu sebagai bahasa resmi. Artinya, negara ASEAN sudah tidak lagi mau menjungjung budaya mereka sendiri, anggapan mereka tetap sama budaya barat lebih unggul daripada budaya timur.
Segala fenomena ini mengakibatkan sangat sulit bahasa Indonesia dijadikan rujukan bersama. Menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa dalam pergaulan guna mewujudkan kerjasama di bidang sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Tentunya, kendala yang ditemui tidaklah sesederhana uraian sebelumnya. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan sebuah gambaran umum problematika Bahasa Indonesia menjadi bahasa pergaulan internasional.
B. Pembahasan
Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk menyatukan perbedaan bahasa yang dimiliki oleh setiap suku bangsa yang ada. Bahasa Indonesia harus dapat berfungsi sebagai jati diri bangsa, kebanggaan nasional. Bahasa Indonesia menjadi sarana pemersatu, bukan menjadi sebaliknya, biang keretakan dalam pergaulan berbangsa dan bernegara. Jadi, bahasa Indonesia menjadi perekat yang harus dijunjung tinggi oleh semua lapisan masyarakat Indonesia dari tingkatan atas hingga ke masyarakat bawah. Menjadi lambang kebanggan tersendiri yang tidak dimiliki oleh semua bangsa di dunia. Hal ini pula dapat dibawa ke tingkat pergaulan kawasan, khususnya Asia Tenggara. Karena, bahasa Indonesia bersumber dari bahasa Melayu yang merupakan rumpun mayoritas negara-negara ASEAN.
Bahasa Indonesia secara intern pun masih sangat banyak kekurangannya, baik dari segi kaidah—ejaan yang secara terus-menerus disempurnakan oleh ahli bahasa maupun penuturnya sendiri. Kesalahan banyak ditemukan dalam proses komunikasi kita dalam kehidupan sehari-hari. Kesalahan berbahasa yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, baik tipe dalam ranah fonologis, morfologi, sintaksis, maupun semantik yang ditemukan dalam bentuk lisan maupun tulisan. Karya tulis dalam dunia akademik yang dianggap sebagai karya ilmiah seperti skripsi, tesis, dan disertasi juga tidak luput dari berbagai kesalahan. Ini membuktikan bahwa kesalahan dalam menggunakan bahasa Indenesia itu tidak mengenal tingkatan dan latar pendidikan masyarakat. Semua kesalahan dapat saja terjadi, terhadap diri kita, tidak memandang status sosial seseorang, pangkat dan jabatan. Belum lagi, kontak bahasa Indonesia dengan bahasa Ibu penutur yang akan menimbulkan interferensi bahasa Ibu kedalam bahasa Indonesia.
Faktor-faktor ini dapat diakibatkan karena seseorang tidak mau tahu bagaimana sebenarnya kaidah bahasa Indonesia yang benar. Masyarakat kita tidak memandang adanya manfaat praktis jika kita menguasai bahasa Indonesia dengan benar. Tidak ada sanksi secara moral maupun secara administratif jika seseorang tetap memakai bahasa Indonesia dengan tidak tepat. Ada juga orang yang memang tidak mengetahui kaidah bahasa Indonesia sehingga sering salah dalam pemakaiannya dalam kehidupan sehari-hari. Orang seperti ini ada dua macam, yaitu orang yang tidah tahu sama sekali tetapi mau belajar sehingga dapat berubah menjadi lebih baik, dan ada orang yang tidak tahu tetapi tidak mau belajar untuk memperbaiki diri.
Fenomena baru yang sedang menggejala adalah pemakaian bahasa Indonesia dicampur aduk dengan bahasa asing. Sementara pemakaian kedua bahasa tersebut ternyata salah. Orang seperti ini, tentu menganggap dirinya hebat atau lebih pintar dari yang lain, karena sering menggunakan istilah asing dalam berbicara. Akibat anggapan bahwa sesuatu yang berbau barat adalah modern berimbas pula kepada pemakaian bahasa mereka. Padahal, dalam kaidah bahasa Indonesia penggunaan bahasa asing dalam bahasa kita sebagai unsur serapan tidak dengan seenaknya. Ada kaidah dalam menyerap bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Diantara kaidah itu adalah unsur serapan dipakai untuk mengisi kekosongan yang tidak dimiliki oleh kosa kata bahasa kita, dapat pula diserap dengan meminjam dengan terjemahan, atau diserap dengan menyesuaikan pelafalannya dalam bahasa Indonesia, baru kita menyerap secara utuh jika kata tersebut tidak memiliki padanan dalam bahasa Indonesia.
Di negara mana pun, presiden, perdana menteri, sultan maupun raja memiliki kedudukan dan wibawa tinggi dan mempunyai pengaruh sangat kuat. Semua putusan dan petunjuknya selalu mendapat perhatian dari seluruh lapisan masyarakat dari pusat sampai daerah. Wejangannya dipakai sebagai landasan bertindak dan bersikap oleh seluruh aparatur dibawahnya yang pada gilirannya dipakai sebagai pedoman oleh masyarakat luas. Posisi presiden seharusnya dapat mengambil langkah untuk mengatasi problematika bahasa nasional kita.
Jika aparatur negara di semua hierarki pemerintahan didorong untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar serta memenuhi standar kebakuan, baik lisan maupun tulisan, maka cepat atau lambat akan terpantul pada kehidupan berbahasa masyarakat Indonesia. Terlebih, jika dibuat sebuah regulasi ketat serta sanksi yang dapat meningkatkan derajat bahasa Indonesia di mata masyarakat kita. Tidak seperti saat ini, ada aturan yang menempatkan bahasa Indonesia pada posisi yang tinggi tetapi tidak ada sanksi nyata terhadap pelanggaran-pelanggaran bahasa yang sering saja kita temui dalam kehidupan sehari-hari.
Karena banyaknya persoalan yang melingkupi bahasa negara kita, maka ide yang pernah dilontarkan oleh Prof. Dr. H. Muhammad Darwis , M.S. dalam bagian penutup makalah ilmiah yang dia tulis. “.....dapatlah dipahami bahwa memerlukan semangat jihat yang sangat besar untuk bisa melawan syahwat diri masing-masing, baik sebagai orang per orang maupun satu kelompok suku atau bangsa untuk bisa meletakkan kepentingan yang lebih besar di atas kepentingan yang lebih kecil yang berjangka pendek, yaitu untuk mewujudkan adanya bahasa persatuan ASEAN dan menjatuhkan pilihan pada bahasa Melayu (2013:11).
Jadi, bagaimana kita dapat mewujudkan rencana yang sangat mulia tersebut, jika dalam negera kita masih bergelimang kesalahan-kesalahan yang dikondisi oleh penguasa negara. Karena, hal itu dapat saja dipercepat jika ada niat baik dan mulia dari pemerintah kita, terutama presiden sebagai tokoh yang sangat strategis dapat menjadi contoh serta memberikan visi yang jelas dalam menahkodai bangsa ini. Kacau penggunaan bahasa presiden kita menjadi contoh seluruh warga negara ini, masyarakat akhirnya meniru untuk tidak tertib dalam berbahasa.
Ego politik sebuah negara juga sangat mempengaruhi terhadap pemakaian bahasa sebagai bahasa pengantar atau pergaulan dalam kawasan regional tertentu. Misalnya, negara-negara ASEAN tentu tidak akan dengan serta- merta mau memakai bahasa Indonesia atau Melayu sebagai bahasa pergaulan dalam kawasan tersebut. Sebab belum tentu, negara seperti Singapura dengan gampang mengiyakan hal tersebut. Demikian pula Filipina dan Malaysia, tentu akan berpikir, karena boleh jadi setiap negara akan mengusulkan bahasa negara masing-masing untuk dijadikan bahasa persatuan ASEAN. Sistem pendidikan di negara-negara ASEAN pun tidak mendukung terhadap pencapaian maksud menjadikan bahasa Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi ASEAN. Dalam dunia pendidikan bahasa Inggris masih ditempatkan sebagai kiblat dalam memahami pengetahuan dan teknologi. Meskipun hasilnya cenderung tidak memuaskan dalam pencapaian target yang diinginkan. Bahasa Inggris dipaksakan menjadi bahasa utama yang dipakai untuk menguasai ilmu pengetahuan. Walaupun saat ini, telah terjadi penolakan dari berbagai kalangan baik itu di negara Malaysia maupun Indonesia untuk tidak membiarkan dominasi bahasa Inggris masuk dalam dunia pendidikan. Karena, hasil akhir yang diinginkan dalam penerapan bahasa Inggris tersebut ternyata gagal dan tidak berarti. Justru, siswa maupun anak didik menjadi lupa terhadap jati diri mereka— budaya mereka.
Sangat berat jalan yang akan ditemui jika menginginkan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dalam pergaulan negara ASEAN, terlebih kita telah memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Jika tidak ada rasa berbesar hati dan kelapangan dada pada setiap pemimpin negara ASEAN untuk menerima dan mengakui kemelayuan mereka, maka hal tersebut tidak dapat terwujud. Pemimpin negara di Asia Tenggara harus mampu menghilangkan sekat-sekat geografis, ego- ego suku, bangsa, budaya dan bahasa, ini untuk memperkuat identitas negara kawasan ASEAN. Budaya negara ASEAN harus ditunjukkan ke budaya negara kawasan lain sehingga tidak ada lagi anggapan bahwa budaya yang satu lebih unggul dari budaya yang lain. Tidak berpandangan bahwa budaya Asia Tenggara adalah budaya negara ketiga yang kolot, ketinggalan zaman, terbelakang dan tertinggal.
Wacana untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi di wilayah ASEAN adalah sebuah harapan mulia. Tetapi, sangat diperlukan sebuah usaha yang cukup ekstra untuk dapat meyakinkan negara-negara serumpun Melayu yang ada di Asia Tenggara. Meluluhkan ego politik negara masing- masing dalam rangka mencapai sebuah cita-cita luhur mempererat tali persaudaraan negara ASEAN. Dengan persamaan bahasa maka akan terbuka sebuah hubungan yang dilandasi rasa kebersamaan budaya—kultur sehingga dapat mewujudkan ketahanan budaya di kawasan Asia tenggara yang semakin maju dan kuat. Kokoh dari perang budaya yang menyerang kawasan Asia Tenggara sehingga dapat jauh dengan Kultur Melayu. Mudah-mudahan hal tersebut dapat terwujud sehingga tercipta sebuah kekuatan baru dalam dunia budaya—politik—ekonomi dalam sebuah perasaan ASEAN bersatu dalam wujud masyarakat ekonomi ASEAN. Hal terpenting, dibutuhkan sikap bahasa dari seluruh masyarakat dalam kawasan Asia Tenggara untuk bersatu menyetujui salah satu bahasa sebagai lambang identitas bersama.
C. Kesimpulan
Persamaan bahasa akan melandasi sebuah keterbukaan hubungan, menghilangkan saling curiga antara satu negara dengan lainnya dalam wilayah Asia Tenggara. Rasa persaudaraan akan lebih kental sehingga persatuan mudah terwujud. Butuh pengorbanan besar untuk menghilangkan kendala syahwat politik, ego sosial, ekonomi, dan budaya negara-negara ASEAN dalam menentukan satu bahasa persatuan. Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu sehingga memiliki keunggulan potensi untuk dijadikan bahasa ASEAN. Namun, Bahasa Indonesia perlu berbenah. Diperlukan sebuah sikap bahasa dan komitmen besar dari pemerintah, akademisi, pelaku kependidikan, tokoh agama, dan masyarakat luas untuk menjadikan bahasa Indonesia berdayaguna dalam setiap sendi kehidupan. Jika hal tersebut dapat terwujud, maka Bahasa Indonesia sangat layak untuk dimajukan sebagai bahasa pemersatu ASEAN.
Daftar Pustaka
Darwis, Muhammad. 2013. Makalah. Memperkukuh Ketahanan Regional
ASEAN yang Berbasis Kesamaan Bahasa, Budaya, dan Tradisi
Sastra. Seminar Nasional Jurusan Sastra Indonesia. FIB-UNHAS.
http://www.republika.co.id/berita/internasional/asean/13/10/28mvdahx-gita-
wirjawan-usulkan-bahasa-indonesia-jadi-bahasa-resmi-asean.
Mahsun. 2015. Tribun Bone. Dialog: Internasionalisasi Bahasa Indonesia Menuju
MEA. Edisi 16 Des 2015.

Yayayaya 👍👍👍
ReplyDelete