" Forms of Eroticism in the Bugis spells"



 Forms of Eroticism in the Bugis spells  atau Bentuk Erotisme dalam Matra Bugis

Abstract

Eroticism in the Bugis spells is a phenomenon that we cannot just put aside. This form even shows its existence until now. Used in a number of professional fields in the Bugis community is an important fact to prove their existence. Eroticism for the Bugis as a form of spells is a sacred literary work - magical as well as prayer. Using erotic spells means using a literary work that has been in contact with the deepest elements of human life. This research uses descriptive qualitative research design. The data collection procedure in this study used competent (interview), note- taking, and reflective-introspective procedures. The analytical method used in this research is descriptive method. This research will describe the forms of eroticism that are revealed through the forms of sounds, words, phrases contained in the Bugis spells.

Kata Kunci: Erotisme, Spells, Bugis

Pendahuluan

Tabu dalam kehidupan masyarakat dianggap sebagai hukum kode tertua sebelum datangnya sistem agama dalam kehidupan sosial masyarakat. Tabu dianggap sebagai larangan, boleh atau tidak sesuatu dilakukan. Salah satu sistem tabu yang dikenal dalam masyarakat adalah kata-kata yang berkonotasi seks (kelamin) tidak boleh digunakan dalam ranah publik. Realisasi sistem tabu ini sangat terasa dalam kehidupan perempuan (wanita). Wanita dianggap tabu membicarakan seks, kelamin, alat vital, dan kata kotor lainnya. Adanya sistem ini menyebabkan manusia (wanita) bereaksi dengan penggunaan bahasa yang mencoba menghindari bentuk tabu dalam berkomunikasi. Reaksi yang dimaksud adalah pemilihan ungkapan yang dapat menyamarkan kata-kata tabu. Tabu bahasa merupakan larangan menggunakan bahasa secara verbal; kata- kata, frasa, dan kalimat yang dapat merusak tatanan sistem sosial kemasyarakatan.

Anggota masyarakat yang melanggar akan menerima hukuman sosial dari masyarakat. Menurut Trudgill (1974 : 29 – 30), kata-kata tabu sebagai hal yang menyangkut perilaku yang dipercaya secara supranatural dilarang atau dianggap tidak bermoral dan tidak pantas diucapkan. Wanita jika ingin mengungkapkan bentuk bahasa kelamin, alat vital, seks, maupun kata-kata kotor lainnya, biasanya menggunakan eufimisme maupun metafora. Mengganti bentuk tabu dengan jalan mencari bentuk lain yang dirasa lebih halus dan jauh dari kenyataan—fakta—realitas.

Bagaimana dengan mantra yang memuat ungkapan yang erotis dan tabu? Kita ketahui bahwa mantra merupakan bentuk sastra lama biasa juga disebut dengan jampi yang tidak luput dari kata tabu. Jika mantra yang memuat kata tabu akan berdampak bahaya kepada penggunannya, mengapa justru mantra tersebut masih lestari sampai sekarang. Meskipun masyarakat modern sudah perlahan-lahan meninggalkannya. Bahkan ada mantra yang sangat diagungkan tidak dapat diucapkan sembarang waktu—tempat—situasi. Menurut Waluyo (1995:5) pada awalnya mantra merupakan bentuk doa. Jika, mantra merupakan doa, mengapa bentuknya ada yang erotis dan vulgar?

Dalam tradisi masyarakat Bugis, bahasa tabu ada yang dibuat menjadi bentuk mantra yang sakral. Bentuk bahasa yang menggambarkan kelamin, wanita maupun laki-laki, dan organ-organ vital lainnya dijadikan pilihan leksikon mantra. Mantra dianggap sebagai ucapan yang mempunyai atau memiliki kekuatan gaib. Dalam pengertian lain, mantra adalah susunan kata yang berbentuk puisi lama (terikat oleh rima dan irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib. Mantra biasanya dibacakan/dirapalkan oleh dukun atau sanro dalam bahasa Bugis. Sanro membacakan mantra untuk kepentingan menyembuhkan, membuat celaka, kepentingan praktis (menanam, memanen,mendirikan rumah dan lain-lain), menandingi kekuatan lain, dan sebagainya.

Timbul pertanyaan mengikuti bentuk mantra masyarakat Bugis yang berberciri erotis. Bagaimana bentuk erotis mantra Bugis serta mengapa bentuk erotis yang dipakai dalam pengungkapannya. Pertanyaan ini akan timbul, karena mantra bagi masyarakat Bugis adalah sesuatu yang sakral dan agung. Mantra merupakan bentuk yang memiliki daya magis yang seharusnya memuat bahasa yang tidak vulgar dan tabu. Pada akhirnya, penelitian ini akan menghasilkan penemuan bentuk erotis dalam mantra masyarakat Bugis serta mengapa bentuk erotis yang dipergunakan sebagai sarana bahasa verbal yang dianggap sakral tersebut.

Tinjauan Pustaka

Erotika dalam bahasa adalah penggambaran secara kebahasaan tindakan, keadaan, atau suasana yang berkaitan dengan hasrat seksual. Jadi tindakan seksual itu bukanlah yang digambarkan secara visual, melainkan secara verbal. Namun, erotika yang dituliskan itu tidak ditujukan untuk mengakibatkan timbulnya hasrat birahi atau nafsu seksual pada pembacanya. Timbulnya nafsu seksual pada pembaca adalah penafsiran teks yang bersangkutan sehingga menimbulkan dampak erotis padanya (Hoed, 2014: 172).

Kerja sastra, seperti setiap kerja seni yang berhasil adalah suatu kesatuan organik yang mengandung kepaduan gaya dan cerita. Kesatuan itu terdukung oleh tema pokok. Dari asas estetik dapat sampai pada kesimpulan bahwa selama adegan yang menguraikan secara terperinci perbuatan seks merupakan unsur organik di dalam kesatuan kerja sastra, sehingga jika ditiadakan akan mengganggu dan merusak kepaduan gaya serta suasana cerita. Maka hal itu tidak dapat dituduh sebagai kerja sastra pornografis (Hoed, 2014: 182). Makna erotis lebih mengarah pada “penggambaran perilaku, keadaan, atau suasana yang didasari oleh libido dalam arti keinginan seksual”, sedangkan makna pornografi lebih cenderung pada “tindakan seksual yang ditonjolkan” untuk membangkitkan nafsu berahi. Teks erotis tidak mempunyai makna dasar cabul, melainkan menggambarkan perilaku, keadaan, atau suasana berdasarkan atau berilhamkan “libido dan seks”. Sebaliknya, pornografi mempunyai makna dasar “cabul”, “tidak senonoh”, dan kotor. Sering dikatakan orang bahwa antara erotis dan pornografi terdapat perbatasan yang samar dan maknanya selalu tumpang tindih. Hal itu dikarenakan dalam pornografi selalu ada erotis tetapi tidak semua yang erotis itu porno. Oleh karena itu, dalam membicarakan erotis dan pornografi, kita terpaksa melihatnya sebagai suatu continuum yang bergeser dari satu ujung (erotis) ke ujung yang lain (pornografi) (Hoed, 2014: 169).

Menurut Sudjiman, mantra dapat mengandung tantangan atau kekuatan terhadap suatu kekuatan gaib dan dapat juga berisi bujukan agar kekuatan gaib tersebut tidak berbuat yang merugikan (1986: 85). Batasan ini mengandung pengertian bahwa mantra yang diucapkan seseorang bisa menjadi sebuah senjata dengan perantaraan gaib sehingga maksud orang yang merapalkannya tersampaikan.

Kekuatan yang dihasilkan oleh matra berasal dari efek magis sehingga kekuatan gaib bersinergi dengan kepercayaan sehingga menghasilkan sebuah sugesti besar kepada orang yang membacanya. Dalam pandangan Djamaris (2001:4) puisi dalam sastra Minangkabau dapatdigolongkan dalam beberapa jenis, yaitu (1) mantra, (2) pantun, (3) talibun, dan (4) syair. Dari pandangan ini kita dapat mengatakan bahwa mantra termasuk dalam karya sastra. sebagai karya sastra tentu mantra pun mengandung unsur kemanfataan—kegunaan—nilai. Terlepas dari pandangan orang terhadap mantra yang selalu dikonotasikan tidak baik (mantra hitam), bentuk ini merupakan sebuah karya yang dianggap bernilai tinggi.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan ancangan penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif adalah riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2010:4), mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif sebagai prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata yang tertulis atau lisan orang lain dan perilaku yang dapat diamati. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Dalam penelitian ini akan dideskripsikan bentuk dan erotisme yang terungkap melalui bentuk bunyi, kata, frasa, yang terdapat dalam Mantra Bugis.

Validasi data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik triangulasi data. Prosedur analisis data dalam penelitian ini dimulai dari pengumpulan data, kemudian dibuat reduksi data dan dilanjutkan dengan sajian data dan kesimpulan. Model analisis data yang dipakai adalah model analisis data yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1984), yaitu flow model (model mengalir).

Pembahasan

Kompleksitas penggunaan mantra dalam kehidupan masyarakat Bugis memang tidak dapat dipungkiri. Hal ini sesuai dengan hasil temuan mantra di beberapa tempat di Kabupaten Bone. Mantra yang ditemukan masih memegang fungsi secara praktis dalam kehidupan peggunanya. Mantra tersebut digunakan secara berkala dan tetap setiap pemakaiannya akan melakukan aktivitas sesuai kegunaan mantra. Mantra Bugis diturunkan turun-temurun secara lisan sehingga cukup mengagumkan karena masih bertahan hingga saat ini. Perubahan zaman tidak menyurutkan masyarakat Bugis untuk tetap mempertahankan tradisi bermantra.

Profesi pedagang menjadi salah satu pekerjaan yang banyak digeluti oleh masyarakat Bugis. Sebelum mereka melakukan transaksi jual-beli, pedagang biasanya menggelar dagangan. Ketika menggelar dagangan diucapkan mantra sebagai pembuka prosesi kerja.

Mantra Pedagang (Menggelar Dagangan)

Bismillah

Sombong ma?balu

Laso mangelli

Barakka lailahaillallah

Struktur mantra ini secara detail dapat dicermati dalam tabel berikut. Struktur Mantra Isi Mantra

Pembukaan Bismillah

Isi Sombong ma?balu

Laso mengelli

Penutup Barakka lailahaillallah

Artinya,

Bismilah

Vagina menjual

Penis membeli

Berkah lailahaillallah

Mantra ini menggabungkan unsur islam dan pra-islam. Hal ini terlihat pada penggunaan kata bismillah dan lailahaillallah. Kedua unsur ini diambil dari bahasa Arab, sementara bentuk lain adalah asli Bugis. Bentuk erotis dalam mantra pedagang ini, yaitu vagina, dan penis. Kalau kita cermati bentuk erotis ini dalam pola kalimat mantra terlihat bahwa bentuk vagina sebagai nomina ditempatkan mendahului kata ma?balu yang dikategorikan verba. Demikian pula kata Laso berada di depan kata mengelli. Pola yang terbentuk M-D, berbeda dengan pola bahasa Bugis yang selalu verba mendahului nomina atau D-M. Hal ini membuktikan bahwa bentuk erotis (vagina dan penis) dianggap sesuatu yang sakral perlu mendapatkan tempat yang suci untuk diucapkan. Seperti halnya jika orang mengucapkan bentuk Bismillah dan Lailahaillallah harus dipakai sebagai pembuka dan penutup pembicaraan.

Bentuk vagina dalam konteks kalimatnya seolah-olah berlaku sebagai pihak penjual, dan bentuk penis bentindak sebagai pembeli. Ditelisik lebih jauh, bentuk Vagina refresentasi wanita dan penis adalah laki-laki. Dalam masyarakat Bugis pihak laki-laki akan bertindak sebagai pencari wanita untuk dijadikan pendamping, bukan wanita. Sehingga, jika vagina menjual pasti laki-laki sebagai pembeli akan berdatangan. Mantra ini secara tidak disadari sebagai bentuk penglaris dalam proses jual-beli.

Bentuk erotisme juga ditemukan dalam beberapa mantra pengobatan. Mantra untuk pengobatan biasanya dibacakan oleh seorang yang berprofesi sebagai dukun (Sanro: bahasa Bugis). Ditemukan bentuk erotisme dalam mantra untuk mengobati orang yang tersedak tulang ikan.

Mantra Pengobatan

(Pengobatan tersedak tulang ikan)

Bismillah

Sombong mangoa

Laso mattama

Barakka lailahaillallah

Mantra ini dapat diuraikan strukturnya, cermati tabel berikut.

Struktur Mantra Isi Mantra

Pembukaan Bissmillah

Isi Sombong mangoa

Laso mattama

Penutup Barakka lailahaillallah

Artinya

Bismillah

Vagina menganga

Penis masuk

Berkah lailahaillallah

Orang yang tersedak tulang ikan biasanya sakit jika ingin menelan sebagai akibat tersangkutnya benda keras dikerongkongan. Vagina menganga diasosiasikan sebagai saluran kerongkongan yang diharapkan terbuka. Sehingga benda yang berada disaluran itu bisa lewat. Penis masuk, disugestikan bahwa dengan lewatnya benda sakral ini akan menghancurkan tulang yang tersangkut. Bentuk hubungan seksual diasosiasikan dengan lubang kerongkongan sebagai vagina yang harus terbuka untuk dimasuki oleh penis. Tulang ikan yang tersangkut dianggap akan hilang rasa sakitnya, seperti nikmatnya orang sedang melakukan hubungan senggama. Tulang ikan (duri) menjadi penis akan memasuki liang vagina, sakit akan hilang nikmat pun akan datang.

Profesi Ambe Botting atau perias pengantin pria juga menggunakan mantra erotis. Profesi perias pengantin wanita disebut indo botting, kedua profesi ini akan selalu hadir dalam sebuah ritual perkawinan adat Bugis. Cermati mantra berikut. Mantra Ambe Botting (Mappasikarawa)

Bismillah

Laso makkarawa

Hua lompo ikarawa

Barakka lailahaillallah

Struktur Mantra Isi Mantra

Pembukaan Bismillah

Isi Laso makkarawa

Hua lompo ikarawa

Penutup Barakka Lailahaillallah

Artinya

Mantra Perias Pengantin Pria (mempertemukan pengantin pria dan wanita)

Bissmillah

Penis memegang

Hua besar dipegang

Berkah lailahaillallah

Bentuk erotis terlihat dalam kata laso (penis) dan hua. Hua merupakan abjad Arab yang jika dibalik bentuknya menyerupai kelamin wanita. Hua dianggap sebagai kelamin perempuan diperoleh pula dari pengkontrasan bentuk laso makkarawa (penis memegang) pastilah vagina yang dipegang dalam mantra ini disebut hua lompo ikarawa.

Dari beberapa profesi masyarakat Bugis yang masih menggunakan mantra dalam beraktivitas terlihat bahwa bentuk kelamin—alat vital menjadi bahan baku penyusunannya. Bentuk erotis seperti laso, buto (penis), Lessi, sombong, hua (vagina), cimu (putting susu), malosu-losu (telanjang), merupakan data yang ditemukan pemakaiannya dalam mantra. Bentuk-bentuk ini tidak menggiring asosiasi semantik yang porno atau membawa kepada bentuk perilaku yang cabul.

Bentuk ini hanya hadir mewakili makna yang dibawanya dikaitkan dengan fungsi mantra secara esensi. Bentuk seks juga dikenal oleh masyarakat lama, tentu ini membawa mereka untuk menggunakannya dalam karya sastra (mantra).

Meskipun bentuk erotis di dalam mantra sangat kecil frekwensi pemakaiannya. Namun, bentuk erotis menjadi salah satu ungkapan masyarakat lama dalam mengekspresikan dirinya. Dianggap kecil—sedikit, tabu, dan ungkapan lainnya sejenis menyebabkan mantra berbentuk erotis jarang dibuka ke publik.

Mantra erotis memiliki ruang, pemakaian, pemaknaan tersendiri, bagi masyarakat Bugis. Hal ini terlihat dari masih adanya masyarakat yang memakaiannya dalam kehidupan. Bagaimana pun, mantra erotis juga produk budaya masyarakat. Keberadaannya tidak bisa kita abaikan begitu saja, sama halnya dengan lukisan prasi yang ada di Bali. Antara mantra erotis Bugis dan lukisan prasi di Bali tentu lahir bukan dari kekosongan budaya. Hadirnya konteks sosial kedua masyarakat itu akan memengaruhinya. Di dalam kedua bentuk karya manusia ini pastilah mengandung nilai yang hendak disampaikan. Entah itu berkaitan dengan nilai moral—seni—sastra—religius.

Mantra Bugis yang erotis, dengan deskripsi kosa kata kelamin maupun organ tubuh bagi masyarakat klasik Bugis tidak dianggap atau menghasilkan dampak erotis. Bentuk seperti laso, buto (penis), Lessi, sombong, hua (vagina), cimu (putting susu), mereka anggap sama derajatnya dengan organ tangan, telinga, hidung, kaki, dan lain-lain. Perbedaan antara organ-organ tersebut adalah tingkat kesakralannya.

Organ tubuh yang dimasukkan ke dalam bentuk erotis dianggap lebih sakral dari organ lain karena fungsi dan kegunaannya. Sehingga, dengan pemakaian bentuk erotis akan menghasilkan nilai religi bagi mereka. Mantra sesungguhnya adalah doa. Dengan bererotis dan vulgar mereka anggap dapat menciptakan kesakralan dan daya magis dalam doa mereka.

Bentuk cimu (putting susu) dipandang sakral karena dapat menghasilkan air susu sebagai sumber kehidupan bagi bayi. Bentuk laso, buto (penis), Lessi, sombong, hua (vagina), dua pasangan organ dipakai untuk bersenggama sehingga menghasilkan kenikmatan (orgasmus). Sampai akhirnya vagina menjadi pintu keluarnya janin (bayi) dari kandungan ibunya. Semua itu menjadi salah satu hal yang membedakan bentuk erotis dengan organ lain. Tentunya, keterbatasan pengetahuan dan kesederhanaan pola pikir masih melingkupi kehidupan sosial mereka ketika mantra tersebut dibuat.

Penutup

Mantra erotis masyarakat Bugis merupakan perwujudan dan pendorong mencapai pengetahuan tentang ide-ide yang hanya ditemukan dalam dunia yang terbuka bagi rasio. Kesesuaian antara gambaran yang dikenal dalam dunia realitas yang bersifat indrawi dengan idea yang ada dalam dunia rasio akan menimbulkan daya magis bagi pembacanya. Mantra erotis masyarakat Bugis sama sekali tidak berdampak cabul atau berperilaku seksual. Mantra erotis Bugis merupakan refleksi kehidupan manusia Bugis yang mengenal seks sebagai sesuatu yang sakral.

Daftar Pustaka

Darmojuwono, Setiawati. 1994. “Erotisme dalam Bahasa”. Jurnal. Jakarta: PT Usmawi.

Djamaris, Edwar. 1990. Menggali Khazanah Sastra Melayu Klasik. Jakarta: Balai Pustaka.

Hoed, H. Benny. 2014. Semiotika & Dinamika Sosial Budaya. Depok : Komunitas Bambu.

Moleong, Lexi, I. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung:Remaja Rosdakarya.

Trudgill, Peter. 1974. Sociolinguistics: An Introduction. Hardmonsworth: Pinguin Books Ltd.

Wardaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Basil Blackwell Ltd.


Makalah dengan judul " Forms of Eroticism in the Bugis spells" atau Bentuk Erotisme dalam Matra Bugis. Dimuat dalam Prosiding Seminar Nasional Linguistik (Semiotika). Linguistik dalam Berbagai Perspektif (Makassar 17 Mei 2017).

" Forms of Eroticism in the Bugis spells" " Forms of Eroticism in the Bugis spells" Reviewed by idiomatik on May 16, 2022 Rating: 5

2 comments:

Powered by Blogger.