LITERASI: “Sarana Peningkatan Peradaban Manusia”



Bahasa Latin mengenal kata literasi dengan istilah literatus, artinya orang yang belajar. Dalam Wikipedia istilah literasi merujuk kepada seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari (https://id.wikipedia...). Sejalan dengan hal itu, National Institut for Literacy menjelaskan bahwa literasi adalah kemampuan seseorang untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat.

Beberapa ahli pun telah memberikan batasan tentang literasi. Misalnya, Elizabeth Sulzby menyatakan bahwa literasi ialah kemampuan berbahasa yang dimiliki oleh seseorang dalam berkomunikasi “membaca, berbicara, menyimak dan menulis” dengan cara yang berbeda sesuai dengan tujuannya. Sementara, Harvey J. Graff menyebutkan bahwa literasi ialah suatu kemampuan dalam diri seseorang untuk menulis dan membaca. Lalu, Jack Goody, mengungkapkan bahwa literasi ialah suatu kemampuan seseorang dalam membaca dan juga menulis. Sejalan dengan tiga pandangan ini, Merriam–Webster, mendefinisikan literasi sebagai suatu kemampuan atau kualitas melek aksara di dalam diri seseorang yang dalamnya terdapat kemampuan membaca, menulis dan juga mengenali serta memahami ide-ide secara visual.

Dari beragam pandangan di atas, istilah literasi tidak lepas dari keterampilan berbahasa seorang manusia. Literasi merupakan sebuah kemampuan dan keterampilan manusia dalam berbahasa yang meliputi membaca, menulis, berbicara, menyimak, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu. Jadi, literasi berkaitan erat dengan kemampuan atau keterampilan seseorang dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses menyimak, membaca, berbicara, dan menulis. Meskipun dalam perkembangannya, definisi literasi berevolusi sesuai dengan perkembangan zaman. Jika dulu definisi literasi selalu berkait dengan keterampilan berbahasa individu, yaitu kemampuan menyimak, membaca, berbicara, dan menulis saja. Saat ini, istilah literasi digunakan dalam arti luas, merambah praktik sosio- kultural, berkaitan dengan masalah sosial, ekonomi, sains, maupun politik.

Paradigma baru dalam memaknai literasi berujung pada banyaknya variasi pemaknaan, seperti literasi media, literasi hukum, literasi politik, literasi komputer, literasi sains, literasi IPTEKS, literasi sastra, literasi sekolah, dan lain-lain. Akhirnya, literasi bukan hanya sekadar kemampuan membaca, menyimak, berbicara, dan menulis saja. Literasi berkembang menjadi mengetahui, memahami, melibati, menggunakan, menganalisis, mengkonstruksi, dan mentranformasi teks. Namun, literasi tetap saja tidak dapat dipisahkan dengan proses membaca dan menulis.

Bagi orang dewasa, dalam membaca dituntut kemampuan mengelola informasi untuk menghasilkan pemahaman yang koheren dan komprehensif. Menurut Nuttal (1988) keterampilan membaca pemahaman sebagai suatu proses interaksi antara pembaca dengan teks dalam suatu peristiwa membaca. Interaksi dalam membaca sesungguhnya adalah interaksi pembaca dengan lambang-lambang tulisan, huruf, atau ujaran tertulis. Lambang-lambang tulisan, huruf, atau ujaran tertulis ditulis oleh seseorang sebagai komponen komunikasi tulis. Membaca dilakukan orang untuk mendapatkan pesan dari penulis melalui kata-kata atau bahasa tulis. Jadi, membaca merupakan proses memahami hal tersirat dalam hal yang tersurat atau melihat pikiran yang terkandung dalam kata-kata tertulis. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan praktik literasi dapat menyentuh setiap orang yang melek aksara agar tidak buta dalam memahami makna bacaan.

Menurut Finochiaro (1973) membaca merupakan proses memahami sebuah arti dan makna yang terkandung pada bahasa tertulis. Sejalan dengan pandanga ini, Lado, (1976) pun menyatakan bahwa membaca adalah memahami beberapa pola atau tata bahasa dari gambaran yang tertulis. Sementara, Keraf mengungkapkan bahwa membaca merupakan suatu proses yang mengandung komponen fisik dan mental.

Dari serangkaian batasan ini mendeskripsikan bahwa membaca sebagai sebuah proses yang dilakukan oleh pembaca untuk mendapatkan sebuah pesan yang disampaikan oleh penulis dengan perantaraan media bahasa tulisan. Jadi, proses membaca bukan saja melibatkan aktivitas pisik, tetapi juga proses mental, yaitu melalui transmisi pikiran, pengayaan pribadi, dan intelektualitas.

Meskipun terlihat sederhana, kegiatan membaca ternyata memiliki banyak manfaat yang cenderung terabaikan. Membaca terbukti efektif meningkatkan pengetahuan seseorang. Melalui kegiatan membaca otak dan pikiran seseorang akan dipenuhi oleh pengetahuan yang dapat digunakan menyelesaikan sebuah permasalahan. Oleh karena itu, seseorang yang rajin membaca akan menjadi pribadi lebih berpikir, sebab otak dilatih aktif melihat sesuatu yang baru (kata per kata) dalam waktu yang cepat. Pada gilirannya, daya ingat akan menjadi lebih baik. Pada sisi lain, membaca dapat digunakan sebagai media hiburan, menghilangkan kegundahan, dan kegalauan. Artinya, banyak membaca berdampak terhadap peningkatan SDM. Itulah sebabnya pemerintah melalui program pendidikan dasar melatih siswa agar memiliki kemampuan membaca sejak kecil. Diharapkan ketika dewasa nanti, minimal tidak ada lagi yang mengalami buta huruf. Tidak salah jika dikatakan bahwa semakin tinggi tingkat literasi (membaca-menulis) sebuah bangsa, akan semakin tinggi pula tingkat peradaban suatu bangsa.

Nurhadi (2008) mengatakan bahwa kompleksitas membaca dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu internal dan eksternal. Menurutnya, faktor internal berupa intelegensi, minat, sikap, bakat, motivasi, tujuan membaca, dan lain sebagainya. Sementara, faktor eksternal bisa dalam bentuk sarana membaca, latar belakang sosial dan ekonomi, dan tradisi membaca. Proses membaca tidak ubahnya dengan proses ketika seseorang sedang berpikir dan bernalar. Dari segi linguistik, membaca adalah suatu proses penyandian dan pembacaan sandi (a recording and deconding proses). Oleh karena itu, ada orang yang menyatakan bahwa “saya merasa lebih hidup dan semakin menyadarkan bahwa pengetahuan yang saya miliki ini belum seberapa dan bukanlah apa-apa” setelah ia membaca.

Pada sisi lain, salah satu ranah literasi adalah kegiatan menulis. Menurut Nurgiyantoro (2001) menulis adalah aktivitas mengungkapkan gagasan melalui media bahasa. Sementara, Semi (1993) mengartikan keterampilan menulis sebagai tindakan memindahkan pikiran dan perasaan ke dalam bahasa tulis dengan menggunakan lambang-lambang. Senada dengan pendapat tersebut, menurut Harris (dalam Rofi’uddin dan Zuhdi, 1999) mengemukakan bahwa keterampilan menulis diartikan sebagai kemampuan menggunakan bahasa untuk menyatakan ide, pikiran atau perasaan kepada orang lain dengan menggunaan bahasa tulis. Jadi, menulis merupakan aktivitas pengekpresian ide, gagasan, pikiran atau perasaan ke dalam lambang-lambang kebahasaan. Menulis merupakan kegiatan produktif dan ekspresif sehingga penulis harus memiliki kemampuan dalam menggunakan kosakata, tata tulis, dan struktur bahasa. Menulis bukan sekadar memainkan kata-kata, membolak-balik kalimat dengan seenaknya karena bahasa merupakan sebuah struktur kohesif dan koheren. Salah menempatkan kata dalam sebuah struktur kalimat dapat menyebabkan kesalahan kepaduan bentuk maupun maknawi.

Oleh karena itu, menulis memerlukan sebuah keterampilan dan kemampuan mengharmonikan berbagai aspek. Aspek tersebut meliputi pengetahuan mengenai topik yang dituliskan, keterampilan menuangkan pengetahuan ke dalam formula bahasa efektif dan efesien diselaraskan dengan bentuk wacana dan kemampuan pembaca, serta penyajiannya sesuai konvensi penulisan. Untuk sampai pada taraf ini, seseorang harus memiliki kekayaan intelektual dan daya nalar dalam berbagai level berpikir, keluwesan pengungkapan, serta kemampuan mengendalikan emosi. Kalau dalam membaca segala sesuatu telah tersedia, tinggal dibaca. Sebaliknya, kegiatan menulis mewajibkan seseorang menyiapkan sendiri segala sesuatunya. Unsur mekanik seperti pungtuasi, ejaan, diksi, pengkalimatan, pewacanaan, topik, dan tata kelola harus ditemukan sendiri sehingga hasilnya runtut, jelas, dan menarik.

Keterampilan menulis memang terbilang rumit dan membutuhkan pendayagunaan cipta-rasa-karsa seseorang secara maksimal untuk menghasilkan sebuah tulisan. Tulisan yang baik dan menarik tidak dilahirkan dengan abracadabra “Aku menciptakan ketika Aku bicara”. Menulis merupakan sebuah kegiatan yang memiliki banyak manfaat. Horiston (dalam Darmadi, 1996) menyatakan bahwa manfaat kegiatan menulis, yaitu sebagai sarana untuk dapat menemukan sesuatu, di dalam artian bisa mengangkat ide dan informasi yang ada pada alam bawah sadar diri kita; dapat memunculkan sebuah ide baru; dapat melatih kemampuan mengorganisasi dan juga menjernihkan bebagai konsep ataupun ide; dapat melatih sikap objektif yang ada di diri seseorang; dapat membantu diri kita supaya berlatih memecahkan beberapa masalah sekaligus; dan, menulis di dalam sebuah bidang ilmu akan memungkinkan kita supaya menjadi aktif dan juga tidak hanya menjadi penerima informasi.

Dari uraian ini, dapat disimpulkan bahwa literasi dapat membantu meningkatkan pengetahuan masyarakat dengan cara membaca berbagai informasi bermanfaat; literasi membantu meningkatkan pemahaman seseorang dalam pengambilan kesimpulan dari informasi; meningkatkan kemampuan seseorang dalam memberikan penilaian kritis terhadap suatu karya tulis; membantu menumbuhkembangkan budi pekerti di dalam diri seseorang; meningkatkan nilai kepribadian seseorang melalui kegiatan membaca dan menulis; menumbuhkan dan mengembangkan budaya literasi di tengah- tengah masyarakat luas; dan membantu meningkatkan kualitas penggunaan waktu seseorang sehingga lebih bermanfaat. Melalui literasi masyarakat diharapkan memiliki wawasan, kemampuan interpersonal, kemampuan verbal dan nonverbal, daya analisis dan berpikir sebagai akibat kinerja otak yang digunakan dalam kegiatan membaca dan menulis semakin baik.

Jika kita membangun sebuah gerakan literasi berarti kita membangun sebuah fondasi kokoh bagi masyarakat yang berpengetahuan. Bukan hanya kemampuan membaca dan menulis, tetapi bentuk cognitive skills akan tercermin pada kemampuan mengidentifikasi, memahami, dan menginterpretasi informasi yang diperoleh untuk ditransformasikan ke dalam kegiatan produktif. Kegiatan produktif akan berkembang pada pengembangan IPTEKS untuk memberikan manfaat ekonomi, peningkatan daya saing, kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat.

Timbul pertanyaan “apakah etika dan moral tidak tersentuh oleh budaya literasi?”. Terbentuknya cognitive skills dalam masyarakat sebagai efek budaya literasi, otomatis meningkatakan kepekaan manusia dan kemampuan mengendalikan akal dan nafsunya. Jika manusia sudah mampu mengendalikan akal dan nafsu, manusia dapat mencapai kehidupan yang bermakna. Lahirlah manusia bermoral sebagai bentuk sikap dan perilaku yang bertanggung jawab mengikuti norma kesusilaan dan etika. Membentuk manusia berbudi pekerti dan beradab serta menghindarkan diri dari demoralisasi. Akhirnya, jika budaya literasi dapat terbentuk dalam masyarakat, peradaban manusia pun akan tinggi.

LITERASI: “Sarana Peningkatan Peradaban Manusia” LITERASI: “Sarana Peningkatan Peradaban Manusia” Reviewed by idiomatik on May 15, 2022 Rating: 5

3 comments:

  1. Indonesia seharusnya bisa menjadi bangsa yang besar apabila mereka memaksimalkan potensi dan sumber daya Manusia dengan sebaik-baiknya. Tidak saja mengeksploitasi alam yang ada batas dan habisnya. Semoga tercapai

    ReplyDelete

Powered by Blogger.