Dr. Irna Fitriana Thandra, S.S., M.Pd.
Sumpah Pemuda
Kami Putra dan Putri
Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku
berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Kami Putra dan Putri Indonesia, menjunjung
bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
Sumpah Pemuda yang telah dicanangkan para pemuda 91 tahun
yang lalu tepatnya 28 Oktober1928 menghasilkan tiga butir pernyataan.
Khusus pada butir ketiga menempatkan bahasa sebagai pokok pernyataan untuk
diakui keberadaannya di Indonesia. Butir ketiga tersebut sampai saat ini masih
tetap mendapat tantangan yang semakin besar. Pemerintah melalui Undang-Undang
Nomor 24 tahun 2009 telah mengamanatkan tentang bahasa Indonesia, dilanjutkan
dengan Perpres no16 tahun 2010 tentang penggunaan bahasa Indonesia walaupun
masih sebatas presiden, wakil presiden, dan pejabat negara dalam berpidato.
Mengembalikan jati diri bangsa melalui bahasa Indonesia kembali dikeluarkan
Perpres Nomor 63 tahun 2019 yang lebih detail mengatur penggunaan bahasa
Indonesia di berbagai kegiatan. Usaha pemerintah untuk mempertahankan dan
menunjukkan jati diri bangsa melalui bahasa patut diapresiasi.
Arus globalisasi di era industri 4.0 merupakan zaman yang
harus dilalui dengan segala kecanggihan teknologi dan kecepatan informasi yang
hampir tak terbendung. Pergerakan zaman modern ini seiring dengan penggunaan
bahasa. Segala bentuk aplikasi dalam alat teknologi menggunakan bahasa sebagai
penyampai informasi. Demikian halnya di Indonesia, negara yang sedang bangkit
dan terus melangkah turut berkompetisi menunjukkan diri di mata dunia. Tidak
ada yang salah dalam hal tujuan untuk berkembang dan menguasai teknologi tetapi
di sela cita-cita dan tuntutan zaman, Indonesia harus tetap menjadi negara yang
mempunyai jati diri. Menyoal jati diri bangsa, salah satunya menjunjung bahasa
negara yaitu bahaas Indonesia yang telah diatur dalam Bab XV pasal 36 UUD 1945.
Isi UUD 1945 tersebut saat ini hanyalah sebuah slogan yang hampir tak bertuan
di negerinya sendiri. Fenomena berbahasa Indonesia sudah tidak lagi menunjukkan
jati diri bangsa dan sudah jauh menyimpang dari cita-cita para pemuda dari
tahun 1928.
Zaman milenial ini
cenderung sikap bahasa masyarakat terhadap bahasa Indonesia mulai tergerus
dengan masuknya bahasa asing yang sangat populer, misalnya bahasa
Inggris, bahasa Arab, dan bahasa Korea. Ketiga bahasa tersebut
“bertarung” pada pemakaian di media sosial ataupun di tempat-tempat umum.
Berbagai alasan yang mendasari pilihan bahasa tersebut walaupun masih dalam
taraf campur kode. Alasan pertama, merasa ketinggalan zaman jika tidak ikut
menggunakan bahasa Inggris sebab bahasa Inggris merupakan bahasa Internasional,
dan muncul bahasa Korea yang mulai naik daun di remaja milenial. Kedua, rasa
bangga dan hebat jika menggunakan bahasa asing. Ketiga, masuknya produk-produk
dari luar yang memaksa masyarakat menggunakan bahasa asing.
Fakta di lapangan sarana-sarana umum terkepung dengan menjmurnya penggunaan bahasa asing. Contoh kecil di Kabuptaen Bone beberapa tempat kumpul masyarakat di antaranya keinggris-inggrisan, misalnya Garden Eight, Experto, Food and Coffe, Bugis Garden, 588 Coffe& Roastery,M Kopitiam Coffe&Cuisine, Seven Break,The Simple, In Box, Café Colony,Exotic Coffe&Food, Soul Coffe,Culture Coffe, Coffe Society. Pusat perdagangan dan penginapan misalnya BTC (Bone Trade Centre), Toko New Bone Textile, New Pelita, Novena Hotel, Helios Hotel and Convention.
Ini masih skala di Kabupaten Bone, kalau lebih jauh lagi di kota Makassar jumlahnya semakin banyak terutama kafe hotel, dan pusat perdagangan. Pemilihan bahasa Inggris untuk memberi nama memang beberapa pertimbangan misalnya terkesan modern, bahasa Inggris singkat-singkat dalam istilah pada
kata-kata tertentu. Pandangan ini secara tidak langsung menunjukkan kesetiaan dan kebanggan pada bahasa Indonesia sudah pupus.
Fenomena lain yang membuat hati miris ketika penulisan bahasa Inggris lebih besar ukurannya
daripada bahasa Indonesia misalnya OFFICE/Kantor, Classroom/ Ruang Kelas, HEADMASTER’S Room/Ruang Kepala Sekolah, contoh ini terdapat di sebagian sekolah. Terlepas apa tujuan si penulis akan tetapi tindakan ini menujukkan bahwa bahasa Indonesia secara tidak langsung direndahkan atau
diremehkan. Penggunaan bahasa Inggris di kegiatan seminar dalam negeri para peserta juga menggunakan bahasa Inggris dihadapan orang Indonesia sendiri, miris! Fenomena lain para penceramah juga banyak menyerap penggunaan bahasa Arab tanpa diikuti terjemahan, sadarkah mereka apakah pendengar semua paham bahasa Arab? Fenomena baru menjangkitnya bahasa Korea di remaja milenial khususnya di media sosial. Ini ancaman baru.
Nama makanan pun tak luput dengan istilah bahasa Inggris yang sebenarnya bisa menggunakan bahasa Indonesia misalnya Oranges Juice (jus jeruk), Ice Lemon Tea (Es teh lemon), French Fries (Kentang Goreng), Fried Chicken (Ayam Goreng), Toast Bread (Roti Panggang), Ice Cream (Es Krim) dan lain-lain yang notabene nama-nama menu tersebut masih ada bahasa Indonesianya. Akan tetapi karena faktor kebanggan menggunakan bahasa Inggris lebih tinggi dibandingkan bahasa Indonesia, sehingga daftar menu lebih banyak menggunakan istilah asing. Walau pada kenyataannya memang banyak menu dari luar yang diadopsi oleh kafe-kafe sebagai bentuk ingin tampil berbeda dan melihat selera generasi milenial yang tidak lagi memilih makanan tradisional.
Mencermati fenomena di masyarakat jika terus berlangsung tanpa kesadaran penuh sebagai warga negara yang memiliki kesetiaan pada bahasanya sendiri maka yakin suatu saat bahasa Indonesia semakin mengalami pergeseran. Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang bersifat terbuka terhadap pengaruh teknologi informasi dan penggunaan bahasa asing terutama bahasa Inggris, sehingga penggunaan bahasa Indonesia dapat meningkatkan penguasaan IPTEK dan kualitas SDM sekaligus
mengembangkan dan melestarikan bahasa Indonesia.Tidak ada salahnya jika seseorang menggunakan bahasa Inggris, terutama jika lawan bicaranya berbahasa Inggris atau kebetulan ingin melatih kemampuan berbahasa Inggris. Namun, kebiasaan menggunakan bahasa Inggris dalam area Indonesia, terkadang berlebihan.
Sikap positif terhadap bahasa Indonesia sebenarnya dapat diwujudkan dengan kesetiaan bahasa, kebanggaan bahasa, dan kesadaran akan adanya aturan bahasa yang harus dipatuhi. Dengan kata lain, sikap positif tersebut dapat ditunjukkan dengan penggunaan bahasa Indonesia yang benar sesuai dengan situasi dan kondisi pembicaraan yang sedang berlangsung. Namun sebagian dari mereka akan merasa bangga jika menyelipkan bahasa asing secara sepotong–potong daripada menggunakan bahasa Indonesia secara utuh dalam berkomunikasi.
Marilah menghargai bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa!
Bahasa menunjukkan bangsa.
Perlu kesadaran kolektif dari semua stakeholder Indonesia untuk selalu memberikan contoh penggunaan bahasa Indonesia yg baik dan benar.
ReplyDelete