oleh
Dr.IrnaFitriana,S.S,M.Pd
Tren berkebun di masa pandemi Covid-19 semakin digandrungi
masyarakat, tidak ketinggalan bertanam tanaman hias. Salah satu tanaman hias yang booming
saat ini Monstera yang lebih dikenal masyarakat luas “janda bolong”. Monstera
adalah spesies tanaman tropis
merambat yang asli dari Amerika Tengah. Tanaman monstera terkenal dengan lubang daun yang dimilikinya secara alami
sehingga dijuluki dengan Swiss Cheese Plant. Monstera Variegata memang memiliki daya tarik istimewa. Selain daunnya yang berlubang, jenis ini juga punya pesona pada warna daunnya yakni kombinasi hijau, putih, dan kuning.
Populernya bunga “janda
bolong” dalam berbagai
pemberitaan yang menyatakan bahwa bunga tersebut memiliki mahar yang fantastis, memicu para
pecinta bunga (tanaman hias)
menggilai dengan berburu bunga tersebut. Mirisnya, kaum ibu dan perempuan-perempuan pecinta bunga sebagian
tidak merasa terusik dengan nama ‘janda
bolong” pada bunga monstera itu. Mereka dengan santai menyebut nama bunga itu tanpa memikirkan efek kesantunan dalam berbahasa.
Fenomena di masyarakat kita entah disadari atau tidak bahwa
nama bunga “janda bolong”
sesungguhnya mengundang ketidaknyamanan pada sebagian orang, terutama yang memahami haakikat gender.
Nama bunga “janda bolong” menimbulkan inferioritas terhadap
perempuan.
Sebuah realita tidak terelakkan status janda di masyarakat menempati posisi yang dilematis. Adanya stigma atau pelabelan negatif yang melekat padanya menimbulkan perasaan/emosi tersendiri di masyarakat. Perasaan ini menunjukan adanya perpaduan antara reaksi dan simpati yang dimiliki oleh masyarakat. Proses stigmatisasi berlangsung secara turun temurun di masyarakat. Proses ini muncul karena kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap janda sehingga menimbulkan kesan negatif. Stigmatisasi juga muncul akibat adanya pengalaman masyarakat dalam berinteraksi dengan janda. Masyarakat akan bereaksi terhadap janda sesuai dengan penilaian terhadap apa yang dilakukan oleh janda. Disatu sisi, timbul simpati kepada janda yang memiliki beban berlebih dibandingkan dengan wanita yang memiliki suami ataupun belum menikah sama sekali. Hal ini yang membedakan posisi janda dengan wanita lainnya. Janda sebagai aktor yang menjadi bagian dari interaksi sosial di masyarakat memiliki pandangan dan harapan tersendiri mengenai kehidupan yang dijalaninya. Stigma yang melekat pada statusnya, akan memengaruhi persepsi dan tindakan yang dilakukannya dalam interaksinya dengan orang lain. Sebagai individu yang aktif, bebas dan kreatif, janda memiliki persepsi yang berbeda satu sama lain tentang stigma status janda di masyarakat.
Status janda bukanlah
posisi yang menguntungkan bagi perempuan secara
biologis, psikologis, maupun sosiologis. Kondisi yang melingkupi diri
kaum perempuan seringkali mengundang bargaining position ini ketika berhadapan
dengan kaum pria. Kaum janda kadang ditempatkan sebagai
perempuan pada posisi yang tidak
berdaya, lemah, dan perlu dikasihani sehingga dalam kondisi
sosial budaya yang patriarki seringkali
terjadi ketidakadilan terhadap kaum perempuan, khususnya kaum janda (Munir, 2009: 144). Demikian pada masyarakat Indonesia
yang umumnya menganut
budaya patriarki.
Kata “janda” semestinya tidak lagi menjadi
kata dengan konotasi
negatif. Pasalnya eksistensi janda sudah lazim dalam kehidupan
sehari-hari. Tetapi pada faktanya
kata janda malah menjadi pilihan kata di berbagai media. Kata “janda” seolah menjadi kata yang dapat menarik perhatian
masyarakat luas misalnya nama bunga, tulisan
meme di media sosial, tak pelak pula kata “janda” malah menjadi nama pada daftar menu warung coto dan warung bakmie
di Makassar dan Jawa. Kata “janda” juga merupakan diksi yang menjadi
pilihan menarik tertulis
pada baju kaos, atau pada kendaraan berupa bus atau truk.
Seksisme bahasa
Kata
seksis secara sederhana dapat diartikan sebagai ungkapan yang memosisikan salah satu gender seks pada tataran subordinasi (inferior) atau tidak setara. Kebanyakan para pakar linguis
mendefinisikan bahasa seksis sebagai bahasa yang cenderung tidak adil gender terhadap perempuan atau dengan kata
lain bahasa yang merepresentasikan
posisi laki-laki lebih dominan (superior). Ketidakadilan gender yang dialami perempuan tidak hanya sebatas di
bidang politik, ekonomi, budaya, dan sosial tetapi
sikap bahasa juga telah menyudutkan posisi perempuan seperti yang berstatus janda. Konsep pencitraan perempuan pada posisi subordinasi, telah membentuk konsep seksisme pengguna bahasa di negeri
kita ini. Seksisme terdiri dari pernyataan dan kepercayaan yang membuat pembedaan
yang tidak penting
dengan mendeskriminasikan orang-orang berdasarkan gender. Seksisme
juga merupakan pernyataan yang dibuat secara menyeluruh
untuk menghubungkan berbagai elemen yang
tidak memiliki kaitan dengan keadaan keperempuanan. Asumsi yang mendasari seksisme
adalah ideologi yang
mencerminkan ketidakadilan martabat
wanita yang tercermin dalam berbagai tataran
kebahasaan yang merupakan perwujudan ideologi
tersebut. Asumsi ini seringkali menimbulkan stereotipe seksual (Mills,
1997:43).
Sikap
tidak adil gender ini (stereotip seks) tentu tidak terlepas dari pengaruh
kultur patriarki yang mengakar
dalam tatanan kehidupan sosial
suatu masyarakat. Sistem
nilai patriarki ini sering dianggap
sebagai biang permasalahan suburnya dominasi seksisme
bahasa terhadap perempuan. Diskriminasi stereotipe seks dan pencitraan
perempuan yang cenderung tidak positif
secara tidak sadar telah mengakibatkan perempuan mengalami
pencitraan yang semakin timpang dan mengukuhkan posisi perempuan pada level tidak adil gender.
Menurut pandangan secara ideologi, seksime dilihat sebagai bentuk kesadaran palsu (false consciousness). Masyarakat menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang normal dan menginternalisasi bahwa apa yang dikategorikan sebagai seksis merupakan sesuatu yang normal dan dianggap biasa. Seksisme juga terjadi ketika perempuan dipercaya memiliki status atau posisi yang lebih rendah daripada laki-laki, meski pada kenyataannya mereka berada dalam posisi yang sama dengan laki-laki. Seksisme membuat wanita dipandang sebagai kaum yang inferior karena kondisinya sebagai wanita. Contoh kalimat yang seksis seperti woman make terrible driver membuat asumsi bahwa semua perempuan berkelakuan demikian dan membuat hal tersebut terlihat seperti bagian yang alami, karena kondisinya sebagai perempuan (Mills, 1997:43). Contoh pernyataan lain yang seksis adalah woman belong in the kitchen membuat asumsi bahwa perempuan memang seharusnya berada di dapur daripada harus pergi ke sekolah atau ke kantor.
Praktik seksisme terjadi
begitu seringnya di keseharian kita sehingga lama-lama
menjadi norma yang hidup di tengah masyarakat. Menjadi hal normal yang
sudah seharusnya diterima
begitu saja oleh perempuan. Pencitraan perempuan yang cenderung tidak positif telah mereduksi
harkat dan martabatnya ke tingkatan paling rendah. Salah satu penyebabnya
adalah bahasa seksis. Bahasa seksis yakni, bahasa yang
merepresentasikan pria dan wanita secara tidak
setara atau tidak seimbang, dalam hal ini anggota
kelompok seks yang satu dianggap lebih rendah kemanusiaannya, lebih sederhana, lebih sedikit hak-haknya daripada anggota kelompok
seks yang lain.
Kaum feminis akan geram ketika melihat begitu banyaknya
bahasa seksis yang didominasi tertuju
kepada kaum perempuan, yang dalam tulisan ini khusus perempuan dengan
status “janda”. Diksi janda dalam berbagai bentuk
komunikasi tidak hanya
pada penamaan bunga akan
tetapi dalam wacana lain seperti nama makanan, meme di media sosial, sampai
tulisan di bak truk, dan tulisan pada baju kaospun
banyak memilih diksi
“janda”.
Perilaku berbahasa seksis terhadap perempuan yang miris ketika perempuan sendiri yang merendahkan sesamanya. Tidak banyak yang keberatan ketika munculnya bunga “janda bolong”untuk memberikan sedikit sentilan kepada khalayak. Bukankah bunga itu punya nama sendiri apa salahnya menyebut dengan nama aslinya Swiss Cheese atau Monstera.Mungkin ada pembelaan pada sebagian orang bahwa bunga itu identik dengan perempuan sebagai lambang keindahan. Sah-sah saja, tetapi jika kita merenik sejenak pilihan kata janda sesungguhnya melukai saudara kita yang berstatus janda. Tidakkah terpikirkan kalau ibu kita yang sudah janda, saudara, sahabat yang
dengan
entengnya direndahkan secara tidak langsung. Imaje negatif terus menerus dilabelkan pada perempuan. Apakah kita
tidak kasihan pada mereka yang hidupnya berjuang
mempertahankan kehidupannya sendiri, mendidik anak sendiri, dan berusaha menutupi pandangan buruk maasyarakat terhadap dirinya.
Selain bunga “janda bolong”, ada sederetan praktik seksisme
berbahasa yang tidak disadari
menginferiorkan perempuan misalnya
bunga janda merana (Vernonia Elliptica), nama menu pada warung coto (janda= jantung daging, haus janda= hati,usus- jantung daging, lempar janda=lemak
paru jantung daging, janda baru=jantung daging
babat paru,dll). Tulisan
pada baju kaos misalnya: Jamu (janda muda), Kopaja (Komunitas Penakluk Janda), Rojali
(Rombongan Janda Liar), Sarjana (Sarang Janda
Mempesona), Jauhi Narkoba
Dekati Janda,Pecinta Janda Muda, Kopi Rasa Janda, Jaman Sadis (Janda Manja Berasa Gadis).
Tulisan pada bak truk pun tak ketinggalan memilih kata janda misalnya: Penikmat
Kilometer bukan janda berdaster, Pemburu
Janda, Aku Tak Menunggu Jandamu
Lagi, Janda Semakin
di depan, Kutunggu
Jandamu, Janda Kembang.
Meme pada media sosial
misalnya:
•
Sekenceng-kencengnya ninja lebih kenceng
goyangan janda
•
Jamannya janda rasa perawan
•
Naik motor tua butuh biaya naik janda butuh tenaga
•
Buta cinta karena janda
•
Jangan menjadakan istrimu demi menolong
janda
•
Lebih baik dapat janda
daripada dapet perawan
tua
•
Need janda
•
Mabok janda
banget
•
Ketika janda mengisi ruang hati serasa
perawan tiada berarti
Jika mencermati semua tuturan
tersebut maka terlihat bagaimana seksisme berbahasa
dalam kehidupan sehari-hari telah melahirkan sikap diskriminatif terhadap perempuan
disadari atau tidak.
Banyak
ahli bahasa, termasuk ahli bahasa dari Lancaster University, Inggris, Norman Fairclough, menunjukkan bahwa bahasa
bukanlah alat komunikasi semata. Bahasa adalah
institusi sosial yang di dalamnya terdapat nilai-nilai ideologis. Bahasa
menjadi instrumen yang digunakan
subjek-subjek tertentu untuk melanggengkan ideologi yang menguntungkannya. Bahasa
sangat memengaruhi cara berpikir dan tindakan-tindakan anggota masyarakat. Dengan menghilangkan bahasa yang seksis,
kita berpeluang menghapuskan tindakan-tindakan diskriminatif pada perempuan.
Ahli bahasa dari Universitas California, Berkeley, Amerika
Serikat Robin Lakoff melakukan kritik yang intensif
mempertanyakan pengetahuan maskulin
dalam penggunaan bahasa di berbagai
bidang. Menurutnya, inferioritas perempuan
dikukuhkan melalui dua cara, yaitu bagaimana perempuan didisiplinkan
dalam caranya menggunakan bahasa,
dan bagaimana perempuan
dibicarakan. Untuk menangani
kondisi ini, Lakoff menyarankan dua hal untuk dilakukan. Pertama,
memberikan pendidikan bahasa
kedua yang memungkinkan pengguna bahasa memahami dunia dengan cara berbeda. Kedua, para ahli bahasa harus memiliki
keberanian melakukan terobosan teoretis agar bahasa lebih berkeadilan.
Selamat memperingati Bulan Bahasa Bahasa Menunjukkan Bangsa

No comments: