ABSTRACT
The symbolic meaning of the Mattompang Arajang Ritual in Bone Regency becomes an annual event organized by the Bone County Government ahead of the Bone Anniversary. The form of ritual that has been done since the time of the Kingdom of Bone still implemented as the stage of ritual execution is known before. Activities conducted only once a year contain several symbolic meanings that can be traced using the theory of semiotics. Ferdinand de Saussure's semiotic theory, C. H. Pierce, and Roland Barthes will be able to uncover the symbolic form of meaning contained in the Mattompang Arajang ritual in Bone County. This research uses descriptive qualitative research. Qualitative research is descriptive research and tend to use analysis with inductive approach. The data collection procedure in this study used the procedure of cakap (interview), recall, and reflective-introspective. The method of analysis used in this research is descriptive method. This research will describe the symbolic meaning contained in the Mattompang Arajang ritual in Bone Regency through a semiotic perspective. The result of the research shows that the ritual of Mattompang Arajang in Bone Regency means that the kings, regents, officials and society always have clear thinking, keep solidarity, brotherhood, harmony, and walk in the principles of truth, ethics, moral, custom and religion.
Keywords: Symbolic, Ritual, Mattompang, Arajang.
Pendahuluan
Era digital membuat orang tidak peduli terhadap nilai budaya dan kearifan lokal. Perkembangan kemajuan pengetahuan dan teknologi yang diciptakan oleh manusia, sangat kuat berpengaruh terutama di daerah perkotaan. Pengkultusan terhadap sains yang katanya adalah basis lahirnya peradaban, menenggelamkan budaya lokal yang dianggap kuno. Pelan tapi pasti, budaya lokal secara perlahan punah oleh gelombang era sains, yang merupakan produk dinamika peradaban yang terus berlanjut, secara langsung juga berimbas ke persoalan sosial kemasyarakatan, budaya, etika dan moralitas.
Di kabupaten Bone, dikenal sebagai masyarakat bugis Bone memiliki nilai-nilai budaya tradisionalnya sendiri. Nilai budaya yang telah diciptakan oleh masyarakat Bugis Bone terdahulu. Nilai budaya ini tentunya mengandung makna, serta nilai filosofis, dan adat istiadat yang dianut dalam masyarakat Bugis Bone. Nilai-nilai budaya ini juga mengalami kemunduran akibat generasi pelanjut yang secara emosional terkondisikan oleh era pengetahuan, informasi dan teknologi yang semakin kuat melekat disetiap lini kehidupan masyarakat Bone.
Kesadaran generasi muda untuk mempertahankan nilai-nilai warisan leluhur, bergeser pada situasi dan kondisi dimana kebutuhan akan seni dan hiburan, lebih terpenuhi karena relevansinya dengan konteks hidup mereka. Meskipun sifat hiburan yang mereka dapatkan dari teknologi hanya bersifat temporer, namun lebih memukau sesuai dengan perkembangan zaman. Fenomena seperti ini akan berlanjut secara dinamis dan terus-menerus pada segala era. Di tengah proses perubahan yang terjadi dan nampak begitu cepat dengan segala jangkauan dimensi kehidupan luas, modernisasi kehidupan nasional yang berarti juga modernisasi kehidupan khususnya masyarakat Bugis Bone.
Sumber-sumber budaya luhur itu semakin lenyap perlahan karena digilas kemajuan zaman, maka secara kultural akan kehilangan citra dan karakter kepribadian yang asli, termasuk masyarakat Bugis Bone. Padahal, kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negeri kaya akan kebudayaan, termasuk budaya masyarakat Bugis Bone. Tradisi budaya yang semakin ditinggalkan sesungguhnya mengandung nilai budaya, etika, moral, dan estetika yang selama ini telah membentuk karakter masyarakat Bugis Bone.
Melihat kurangnya kesadaran masyarakat Indonesia khususnya di Sulawesi Selatan, tentang pentingnya menjaga nilai-nilai budaya (kultural) dan adat yang dapat menunjang keberadaan maupun eksistensi sebuah budaya. Minimnya perhatian pemerintah tentang hal ini, menyebabkan banyaknya kebudayaan tradisional terkikis oleh budaya asing yang tidak sesuai dengan kultur Bugis Bone. Sehubungan dengan hal itu, perlu diupayakan terbentuknya peluang bagi masyarakat luas untuk berperan dalam perkembangan budaya kabupaten Bone dan usaha menikmati, mengapresiasi, mengkaji, menginterpretasi, dan mendalami sehingga penyebarluasan manfaat tradisi budaya diketahui oleh masyarakat.
Pemerintah Kabupaten Bone setiap tahun menggelar acara budaya yang selalu dirangkaikan dengan Hari Jadi Kabupaten Bone, yaitu upacara adat Mattompang Arajang. Ritual Mattompang Arajang yakni acara pembersihan pusaka kerajaan Bone yang dilakukan melalui suatu prosesi rangkaian acara yang panjang. Seyogyanyalah kalau acara ritual adat yang berkesan mewah ini tidak selesai tanpa meninggalkan sebuah makna bagi masyarakat—pemerintah—dan masa depan generasi muda Kabupaten Bone. Berangkat dari hal tersebut, penulis mencoba akan memberikan pemaknaan simbolik terhadap ritual adat Mattompang Arajang melalui persfektif semiotika. Makna simbolik penulis artikan sebagai bentuk interpretasi terhadap pelaksanaan upacara adat melalui atribut-atribut tertentu yang terdapat dalam proses Mattompang Arajang dengan menggunakan sudut pandang semiotika.
Tinjauan Pustaka
Ferdinand de Saussure (1988) memperkenalkan konsep tanda bahasa. Menurut Saussure, tanda bahasa merupakan satuan utama bahasa karena bahasa hanyalah merupakan sejumlah besar tanda yang berhubungan satu sama lain melalui berbagai cara. Dalam pandangan Saussure, tanda bahasa tidak menggabungkan antara sebuah objek dengan namanya tetapi antara konsep dan citra bunyi. Kombinasi antara konsep dan citra bunyi merupakan sebuah sign atau tanda. Struktur internal tanda dalam pandangan Saussure bersifat biner atau diadik yang terdiri atas irisan citra bunyi yang kemudian oleh Saussure sebut signifier (signifiant) atau penanda dan irisan konsep yang kemudian Saussure sebut petanda atau signified (signifie).
Menurut Charles Sanders Pierce sistem tanda terdiri atas tiga macam, yaitu; 1) refresentamen, 2) Objek, dan 3) Interpretant. Ground, memungkinkan kita untuk menangkap sesuatu dari tanda itu; acuan merupakan tanda yang dirujuk pada objek, sedangkan tanda baru yang muncul dalam benak si penerima tanda disebut interpretant (dalam Rahman, 2006: 324). Dari tanda tersebut Peirce ingin mengidentifikasikan partikel dasar dari tanda dan menggabungkannya kembali semua komponen ke dalam struktur tunggal. Peirce menggunakan teori segitiga makna (triangle meaning) yang terdiri atas (dalam Fiske, 1990:62).
Berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks), dan symbol (simbol). Icon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata
lain, icon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan. Index adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. Sedangkan simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya (dalam Sobur, 2006:42).
Selanjutnya, Peirce mengemukakan bahwa sebuah analisis tentang esensi tanda mengarah pada pembuktian bahwa setiap tanda ditentukan oleh objeknya. Pertama, dengan mengikuti sifat objeknya, ketika kita menyebut tanda dengan sebuah icon. Kedua, menjadi kenyataan dan keberadaannya berkaitan dengan objek individual, ketika kita menyebut tanda sebagai sebuah index. Ketiga, kurang lebih perkiraan yang pasti bahwa hal itu diinterpretasikan sebagai objek denotatif sebagai akibat dari suatu kebiasaan ketika kita menyebut tanda sebagai sebuah simbol (dalam Sobur, 2004: 35).
Roland Barthes (1983) menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “Order of Significations” (tatanan pertandaan), terdiri dari: (1) Denotasi. Makna kamus dari sebuah kata atau terminologi atau obyek (literal meaning of a term or object); (2) Konotasi. Makna-makna kultural yang melekat pada sebuah terminologi (the cultural meanings that become attached to a term).
Barthes (dalam Culler, 2002) merumuskan tanda sebagai sistem yang terdiri dari expression (E) yang berkaitan (relation –R-) dengan content (C). Barthes menggambarkan hubungan kedua makna tersebut sebagai berikut:
R 2: Tanda Sekunder: Konotasi
R 1: Tanda Primer: Denotasi
Denotasi merupakan makna yang objektif dan tetap; sedangkan konotasi sebagai makna yang subjektif dan bervariasi. Meskipun berbeda, kedua makna tersebut ditentukan oleh konteks. Makna yang pertama, makna denotatif, berkaitan dengan sosok acuan, misalnya kata merah bermakna „warna seperti warna darah‟ (secara lebih objektif, makna dapat di-gambarkan menurut tata sinar). Konteks dalam hal ini untuk memecahkan masalah poli
semi; sedangkan pada makna konotatif, konteks mendukung munculnya makna yang subjektif. Konotasi membuka kemungkinan interpretasi yang luas.
Pemikiran Roland Barthes (1990) ini menggambarkan interaksi yang terjadi terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebdayaannya. Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan makna konotasi adalah bagaimana cara menggambarkannya. Konotasi bekerja dalam tingkat subjektif sehingga kehadirannya tidak disadari. Pembaca mudah sekali membaca makna konotatif sebagai fakta denotatif. Karena itu, salah satu tujuan analisis semiotika adalah untuk menyediakan metode analisis dan
kerangka berpikir dan mangatasi terjadinya salah baca (misreading) atau salah dalam mengartikan makna suatu tanda.
Menurut Edwar Said (dalam Sibarani, 2004: 3) mengemukakan bahwa kebudayaan itu adalah satuan dari gagasan-gagasan, simbol-simbol dan nilai-nilai yang mendasari hasil karya dan perilaku manusia, sehingga tidak berlebihan apabila dilanjutkan, bahwa begitu eratnya kebudayaan dengan simbol-simbol yang diciptakan manusia sehingga dapat disebut sebagai homo simbolicum. Untuk mengerti simbol-simbol yang terdapat dalam suatu masyarakat tradisional yang mungkin berkaitan dengan mitos dan spirit religius, maka dibutuhkan penjabaran mengenai sistem budaya yang berlaku dalam masyarakat itu, termasuk pengalaman hidupnya.
Cliffor Geertz (1992: 38), mengatakan bahwa kebudayaan merupakan pola dari pengertian-pengertian atau makna-makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol dan ditransmisikan secara histori. Apa yang diajarkan kepada kita selama ini tentang kebudayaan telah membentuk suatu keyakinan bahwa kebudayaan itu merupakan blue-print yang telah menjadi petunjuk dalam perjalanan hidup manusia. Ia menjadi pedoman dalam tingkah laku. Termasuk apa yang terkandung dalam ritual adat Mattompang Arajang.
Pandangan ini telah menyebabkan peneliti merunut keberlanjutan kebudayaan pada ekspresi simbolik dalam prosesi Mattompang Arajang terutama untuk melihat bagaimana proses pewarisan budaya ini dapat terjadi. Pada budaya bugis Bone juga terdapat banyak hal yang diungkapkan dalam pelaksanaan upacara adat Mattompang Arajang melalui simbol-simbol yang memiliki makna tertentu yang dapat dipahami oleh sebahagian masyarakat setempat utamanya para tokoh adat maupun tokoh-tokoh agama. Melalui teori semiotika yang dikembangkan oleh Pierce, Saussure, dan Barthes peneliti yakin bahwa makna simbolik dalam acara Mattompang Arajang dapat terkuak, sehingga masyarakat terutama generasi muda kabupaten Bone dapat memahaminya.
Hasil dan Pembahasan
Istilah Mattompang berasal dari bentuk prefiks ma + kata tompang. Prefiks ma- merupakan bentuk aktif, sementara kata tompang bermakna mencuci. Gabungan kedua unsur ini menghasilkan kata [m-a-t-t-o-m-p-a-n-g] bermakna kegiatan mencuci. Muncullunya fonem [tt] merupakan bentuk geminasi yang banyak muncul dalam proses morfologi bahasa Bugis. Fonem awal dalam kata dasar akan menjadi ganda setelah proses gabungan kata dan morfem yang mendahuluinya. Misalnya, ma + taneng menjadi mattaneng, ma + ceraq menjadi macceraq, ma + karawa menjadi makkarawa, perilaku linguistik seperti ini bukan hanya terjadi dalam proses morfologi, namun dalam bentuk kata pun ditemukan banyak bentuk geminasi, seperti kata palla, maloppo, makka, dan lain-lain.
Upacara adat Mattompang Arajang atau Masossoro Arajang biasa juga disebut Mappepaccing Arajang rutin dilaksanakan setiap tahunnya. Pada zaman dahulu Mappepaccing Arajang dilaksanakan oleh para Bissu atas restu sang raja atau Mangkau di dalam ruangan tempat penyimpanan Arajang. Upacara adat sakral tersebut merupakan kegiatan mensucikan benda-benda pusaka kerajaan Bone atau dalam istilah Pangadereng Rilangiri dan secara khusus disebut Massosoro Arajang (mattompang). Adapun tahapan kegiatan Mattompang Arajang sebagai berikut:
1. Malekke Toja (mengambil air)
Proses ini dilaksanakan beberapa hari sebelum kegiatan Masossoro Arajang (Mattompang) dilakukan. Kegiatan ini dilakukan dibeberapa tempat yaitu : di Bubung Parani, Bubung Bissu, keduanya berada di wilaya
Kecamatan Barebbo yang disebut oleh para nenek moyang berada di Saliweng Benteng (di luar dari benteng), dan Bubung Laccokkong yang ada di Kelurahan Watampone Kecamatan Tanete Riattang yang dahulu berada di Laleng Benteng (di dalam benteng). Pengambilan Toja (air) ini dimaksudkan untuk digunakan membersihkan benda-benda pusaka atau arajang, setelah dilakukan pengambilan air dari beberapa sumur tersebut, maka air dibawa kedalam tempat benda-benda pusaka dan didiamkan.
2. Mappaota (Persembahan Daun Siri)
Pemangku adat mempersembahkan daun sirih yang diletakkan dalam sebuah cawan kepada Bupati Bone sebagai laporan bahwa upacara adat segera dimulai. Selanjutnya diiringi oleh para bissu ke tempat arajang. Dalam prosesi ritual ini Ota (daun sirih) diletakkan di depan pintu ruangan tempat arajang disimpan, dengan maksud memohon izin kepada dewa selaku leluhur terdahulu dan sebagai pemberitahuan bahwa arajang akan diambil dan dibersihkan.
3. Memmang To Rilangi (Permohonan Izin)
Proses ini diawali dengan iringan seperangkat bunyi-bunyian dan diiringi dengan tarian yang disebut “Sere Alusu” oleh para bissu. Kata-kata yang diucapkan oleh bissu yang berisi permohonan izin untuk membersihkan arajang. Para bissu menggerakkan dan memindahkan arajang dengan persetujuan raja, karena mereka dianggap mengetahui serta mampu berhubungan dengan gaib yang menyertai arajang. Kemudian arajang diserahkan kepada tokoh adat, kemudian dibawa kehadapan Bupati Bone untuk dikeluarkan dari sarungnya dan diletakkan kembali tanpa sarung.
4. Massossoro/Mattompang Arajang (Membersihkan Pusaka)
Setelah arajang diambil dari tempat pinyimpanannya dan telah mendapatkan restu dari leluhur maka ketua adat atau Ammatoa yang diwakili Puang lolo (wakil ketua adat) mengarak pusaka kerajaan kepada Pattompang untuk disucikan diiringi gendrang bali sumange serta Sere Bissu yang dilakukan para bissu dengan mengelilingi para pattompang dan arajang yang dibersihkan.
5. Matinro Arajang (Menidurkan Benda Pusaka)
Prosesi selanjutnya yang dilakukan oleh para bissu disebut Matinro Arajang (menidurkan benda pusaka) bissu kembali membacakan mantra-mantra yang disebut Mamemmeng.
Berdasarkan ritual Mattompang Arajang, ada beberapa tanda yang dapat diinterpretasikan berdasarkan teori triangle meaning dari Charles Sandres Peirce. Tabel berikut dijadikan acuan oleh penulis dalam menguraikan makna pesan simbolik dalam upacara Mattompang Arajang.
Dari tabel pemaknaan tanda, dapat diungkapkan bahwa proses ritual acara Mattompang Arajang juga memiliki keterkaitan secara ikon, indeks maupun simbolis.
Kata mallekke berasal dari kata ma- + lekke, lekke berarti punggung. Kata mallekke secara harafiah bisa berarti bersembunyi. Terjadinya gabungan kedua bentuk itu menghasilkan kemunculan dua fonem [-ll-] dalam [m-a l-l-e-k-k-e] merupakan bentuk geminasi yang merupakan cirri khas bahasa Bugis. Jika kata mallekke merupakan turunan dari pallekke yang berarti alat pelapis (kain) untuk membawa barang di atas kepala, maka kata ini akan berari membawa barang di atas kepala, khususnya air. Pallekke biasa dipakai untuk membawa barang di atas kepala (junjung), seperti tempayang, guci, atau ember yang berisi air. Kata ini diikuti oleh bentuk toja yang berarti air, sehingga frasa malleke toja secara harafiah berarti mengambil air.
Malekke Toja (Mengambil Air) merupakan prosesi pertama ritual Mattompang Arajang, mengambil air di dua lokasi yang berbeda, yaitu di lalang benteng, dan di saliweng benteng. Dua oposisi di luar dan di dalam benteng mengandung ikon (kemiripan) bahwa dua lokasi (daerah) ini merupakan wilayah yang sama kedudukannya, yaitu kota dan desa. Secara indeksikal, kedua wilayah ini berhak untuk memberikan air yang berasal dari tanah Kabupaten Bone untuk ikut serta dalam mensucikan pusaka kerajaan. Jadi, tidak ada perbedaan antara wilayah kota maupun desa dalam berperan serta membangun, berjuang, mempertahankan tanah Bone dari segala macam ancaman.
Selain bentuk kemiripan (ikon) tidak adanya perbedaan wilayah antara kota dan desa di atas. Kemiripan konsep Malekke Toja (Mengambil Air) dengan penerapan sistem demokratisasi kerajaan Bone di masa lalu. Dahulu, produk hukum yang akan diberlakukan kerajaan tidak seenaknya dibuat oleh seorang raja. Namun, konsep hukum itu berasal dari konsep raja (bangsawan) dan pemikiran masyarakat luas yang akan diberikan kepada dewan adat (adat pitue) untuk dibicarakan. Ini memperlihatkan bahwa Bone pada masa lalu sangat menjunjung kedaulatan rakyat. Ini dibuktikan dengan penerapan representasi kepentingan rakyat melalui lembaga perwakilan mereka di dalam dewan adat yang disebut ade pitue, yaitu tujuh orang pejabat adat yang bertindak sebagai penasehat raja. Segala sesuatu yang terjadi dalam kerajaan dimusyawarahkan oleh ade pitue dan hasil keputusan musyawarah disampaikan kepada raja untuk dilaksanakan.
Meskipun saat ini prosesi Mallekke Toja hanya dilakukan di satu sumber mata air saja, yaitu bubung Lacokkong (di lalang Benteng) tetapi tidak mengurangi kesakralan acara ini. Hal ini dilakukan mengingat waktu tempuh dari pusat kota di laleng benteng ke saliweng benteng cukup memakan waktu. Meskipun dahulu terdapat tiga sumur, yaitu bubung Lacokkong, bubung Bissu, bubung Parani, yang dapat dijadikan tempat pengambilan air suci untuk acara Mattompang Arajang. Secara simbolis pemilihan bubung ini mengerucut kepada bubung Lacokkong, saat ini hanya sumur ini yang dijadikan tempat pengambilan air suci. Kita ketahui bahwa bubung Lacokkong merupakan sumur terdekat dengan pusat pemerintahan kerajaan Bone.
Mappaota (Mempersembahkan Daun Siri) berasal dari kata ma- + pa- + ota. Gabungan kedua anteseden tersebut juga menghasilkan geminasi atau pengulangan fonem [pp] dalam [m-a-p-p-a-o-t-a]. Kata ota sendiri dalam bahasa Bugis berarti makan atau mengunyah. Dari hal itulah maka penulis berkeyakinan bahwa kata ota yang mendapatkan gabungan imbuhan (konfiks) ma- + pa- menghasilkan makna sebuah kegiatan yang dilakukan untuk memberikan daun siri untuk dikunyah. Jadi, sebuah kegiatan yang dilakukan bersama tidak akan dimulai jika
kegiatan makan siri secara bersama-sama belum dilakukan. Secara ikonik berimplikasi dalam ritual Mattompang Arajang yang akhirnya menempatkan kegiatan mappaota dengan cara daun sirih diletakkan dalam sebuah cawan sebagai pertanda bahwa acara Mattompang Arajang segera di mulai.
Mappaota merupakan simbol acara akan segera dimulai. Sudah menjadi konvensi bahwa proses mampaota merupakan tanda permintaan izin Bissu kepada Raja atau Bupati saat ini untuk memulai upacara. Daun sirih sejenis tanaman merambat yang banyak digunakan sebagai obat oleh masyarakat Bugis. Daun ini selalu hadir dalam setiap kegiatan ritual adat Bone. Daun sirih dahulunya menjadi sejenis makanan yang dikunyah-kunyah oleh kalangan orang tua di waktu senggang. Jika mereka berkumpul dalam kegiatan non-formal, sirih tidak akan pernah lepas dari mereka.
Bentuk tanda daun sirih secara indeksikal akan merujuk kepada rasa persaudaraan sesama pemakan sirih. Persaudaraan yang kental sesama masyarakat Bone terjalin dalam kegiatan maota secara bersama-sama. Dalam persaudaraan ini terdapat nilai hormat dan menghargai satu sama lain. Akhirnya, memunculkan ungkapan kerukunan si anrasa rasang na simase-masei. Orang Bone harus merasa senasib, sependeritaan, dan saling kasih mengasihi antara sesama dalam hidup ini. Orang yang lebih muda akan takzim dan hormat kepada yang lebih tua, yang tua akan menghargai, menyanyangi, mengayomi, dan melindungi mereka. Konsep sipakatau, sipakainge, dan sipakalebbi akhirnya hidup dan berkembang dalam masyarakat Bugis Bone.
Selanjutnya, prosesi Memmang To Rilangi merupakan proses ketiga dalam ritual Mattompang Arajang. Kata memmang dalam bahasa Bugis Bone berari berkata-kata, berucap atau bergumang. Frasa to rilangi bermakna orang yang berasal dari langit. Makna denotatif ini sesungguhnya secara konotatif bermakna dewa-dewa atau dewatae. Jika melihat proses Memang To Rilangi di mana Bissu berbicara (bergumam) dengan membaca mantra sebagai permohonan izin kepada gaib (Dewa—Tuhan). Antara nama prosesi ketiga ini memiliki ikonitas dengan perilaku yang dijalankan oleh Bissu.
Dalam proses ini, Bissu memindahkan pusaka dari tempatnya, kemudian mengeluarkannya dari tempat— sarungnya—wadahnya. Proses pemindahan hanya dilakukan kalangan Bissu yang dianggap mampu melaksanakannya. Proses Memmang To Rilangi biasa juga disebut Matteddu Arajang. Pemindahan arajang diiringi oleh tarian sere alusu yang dilakukan oleh para Bissu. Matteddu Arajang bermakna membangunkan benda pusaka. Arajang dimetaforakan sebagai benda hidup yang dapat merasa, melihat, dan berkehendak. Akibat hal itu, maka tarian sere alusu dipersembahkan selama kegiatan ini, secara indeksikal Arajang dianggap sebagai benda hidup yang dihormati. Akibat penghormatan dan pengkultusan (mitos) itu maka tutur kata, ucapan, dan perilaku manusia harus baik, halus, dan lembut kepada sesama manusia. Seperti halusnya tarian sere alusu yang dipersembahkan oleh Bissu selama proses Memmang To Rilangi.
Acara inti dalam ritual Mattompang Arajang adalah Massossoro atau Mattompang Arajang. Kata mattompang berasal dari kata ma- + tompang, bentuk ma- merupakan anteseden aktif, sehingga tompang yang bermakna mencuci atau membersihkan. Morfem ma- + tompang menghasilkan geminasi fonem [tt] dalam [m-a-t-t o-m-p-a-n-g]. Setelah mendapatkan restu, pusaka diarak untuk dibersihkan oleh Pattompang untuk disucikan yang diiringi genderang bali sumange serta Sere Bissu yang dilakukan oleh para bissu dengan mengelilingi para pattompang dan arajang yang dibersihkan.
Arajang merupakan simbol kebesaran—kekuasaan, siapa yang menguasainya, maka dialah yang akan menjadi pemimpin (raja). Membersihakan Arajang memiliki kemiripan (ikon) dengan pensucian diri para pemimpin. Mattompang Arajang merupakan bentuk ikonitas dari harapan agar pemimpin tetap berfikir jernih dan tetap menjaga hal-hal yang disucikan, terutama ditujukan kepada pejabat dalam hal ini Bupati Bone agar tetap berfikir sehat dalam mengambil segala keputusan demi kepentingan masyarakat dan warganya demi mewujudkan cita-cita nenek moyang. Jika dahulu, tujuan ini ditujukan kepada raja untuk tetap amanah dalam memimpin rakyatnya sehingga prosesi Mattompang Arajang dapat menghindarkan sang raja menjadi zalim dan angkara.
Menyucikan Arajang berarti membersihkan diri masyarakat/warga dari pikiran, perbuatan, dan perilaku yang bertentangan dengan nilai etika, moral, kebenaran, dan agama yang dapat membawa kepada kehancuran. Mappepacing teddung pulaweng (payung emas) bentuk ikon dari membersihkan hati pemimpin (Raja atau Bupati Bone) untuk tetap dapat mengayomi masyarakat sehingga tidak lupa terhadap rakyatnya. Membersihkan sembangeng pulaweng (selempang emas), memiliki hubungan kemiripan (ikon) dengan makna persatuan harus dijaga dengan silaturhmi yang kuat. Persaudaraan antara sesama, solider dalam ikatan to Bone, satu bagian selempang yang lepas maka yang lain ikut bercerai-berai. Satu warga masyarakat sakit maka satu komunitas merasakannya, persatuan harus terjaga dan tetap lestari di bumi Kabupaten Bone. Mencuci keris, kelewang, atau tombak bermakna kekuasaan harus lurus tidak keluar dari jalur kebenaran dan tetap memperjuangkan kemaslahatan masyarakat. Seorang pemimpin harus tegas seperti tajamnya mata kelewang, keris dan tombak.
Ada dua pusaka dalam ritual Mattompang Arajang yang sangat disakralkan (mitos) oleh masyarakat Bone, yaitu kelewang La Tea Ri Duni, dan keris La Makkawa. Kelewang yang sarung serta hulunya berlapis emas dan dihiasi intan permata tersebut, diberi nama La Tea Ri Duni karena pada masa mangkatnya Arung Palakka, pusaka tersebut turut pula dikebumikan bersama jasad Arung Palakka. Namun, pusaka ini kemudian memunculkan diri di atas makam yang diliputi cahaya terang benderang. Begitu pula dengan sebilah keris milik Arung Palakka, yang diberi nama La Makkawa. Pusaka ini selalu dipergunakan Arung Palakka dalam setiap pertempuran melawan musuh kerajaan. Pusaka ini memiliki sifat ketajaman serta sangat berbisa, sehingga sekali tergores, maka dalam sekejap lawan akan segera meninggal atau dalam bahasa bugis disebut makkawa.
Kedua pusaka ini merupakan simbol keberanian dan kekuasaan. Kedua benda ini sesungguhnya kelewang dan keris biasa seperti pada ummunya benda tajam. Kelewang sejenis parang agak panjang dan keris bentuknya sedikit pendek, namun kedua benda ini dilapisi oleh emas dan berlian sehingga berbeda dengan benda serupa di tempat lain. Apalagi, Keris La makkawa telah dilumuri oleh racun sehingga sangat berbisa. Berlapis emas, permata, dan berbisa menghasilkan makna konotatif dalam kedua bentuk pusaka ini. Bentuk makna konotatif ini telah berlangsung lama seiring oleh berkembangnya cerita heroik (kepahlawanan) sang Arung Palakka pemilik benda pusaka ini. Proses ini akan membentuk opini masyarakat (khususnya Bone) bahwa seorang pahlawan pastilah memiliki senjata yang digunakannya dalam berperang.
Sepeninggalnya Arung Palakka, dianggap tidak ada raja yang dapat menggantikannya. Hal ini mendasari diperlukan sebuah benda yang dimitoskan serupa dengan Tuannya (Arung Palakka), untuk mempersatukan kembali rakyat Bone yang kehilangan sosok pahlawan. Dimunculkanlah mitos kelewang La Tea Ri Duni, jadi mitos kelewang ini merupakan bentuk pengalihan kekuasaan—kedigjayaan dari sosok Arung Palakka kepada sebilah
kelewang. Dengan harapan bahwa siapa pun yang berkuasa (raja) jiwa dan semangat Arung Palakka tetap bersama mereka. Hal ini ditandai dengan syarat kelengkapan utama dalam setiap pelantikan Raja-Raja di tanah Bone atau tanda Mangkau (Raja) Bone adalah memakai La makkawa dan La tea Ri Duni, bertongkat tombak La sagala, mengambil sawah di La caloko serta dipayungi payung emas.
Secara umum prosesi Massossoro atau Mattompang Arajang, ditujukan untuk menyatukan langkah, gerak dan sinergitas antara pemimpin (raja—bupati) dengan masyarakat Bone dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Menyatukan hati dengan perbuatan yang selalu berada dalam jalur yang diridhoi oleh Yang Maha Kuasa. Bupati atau Raja harus dan wajib menjalankan seluruh kewajibannya sebagai pemimpin, di sisi lain, rakyat wajib loyal, patuh, dan menjalankan hak serta kewajiban sebagai warga masyarakat. Jika hal ini terlaksana, maka kehidupan masyarakat Kabupaten Bone akan sejahtera, aman, damai, dan sentosa.
Prosesi terakhir dalam ritual ini adalah Matinro Arajang (Menidurkan Benda Pusaka). Nama prosesi ritual ini merupakan bentuk metafora (personifikasi) yang menghidupkan benda-benda mati seolah-olah sebagai wujud makhluk hidup. Perilaku seperti ini merupakan bentuk indeksikal pengacuan terhadap nama-nama benda pusaka yang diberi nama seperti manusia. Pengaruh animisme yang menganggap bahwa benda-benda memiliki jiwa dan ruh tergambar dalam penamaan ini. Sebuah kelewang atau alameng milik Arung Palakka diberi nama La Tea Ri Duni yang artinya tidak berkenan (tidak ingin) dikebumikan.
Nama ini diberikan dari mitos bahwa kelewang yang pada masa mangkatnya Arung Palakka, pusaka ini turut pula dikebumikan bersama jasad Arung Palakka. Namun, kelewang ini memunculkan diri di atas makam diliputi cahaya terang benderang. Makna konotatif cahaya yang terang benderang berarti harapan, kelahiran semangat baru, datangnya penyelamat masyarakat Bugis Bone dari penjajahan saat itu. Kemunculan mitos ini jelas mempengaruhi tatanan kehidupan masyarakat dan bangsawan Bone untuk tetap berjuang melanjutkan cita-cita Arung Palakka. Konsep baru lahir, bahwa hanya benda inilah yang harus dipegang oleh penguasa Bone selanjutnya. Pusaka ini menjadi lambang kekuasaan yang dapat mempersatukan kembali masyarakat masyarakat Bone.
Pada masa pemerintahan Arung Palakka Kerajaan Bone mencapai zaman keemasan. Beliau akhirnya dikultuskan secara mendalam oleh rakyatnya, tak tergantikan oleh siapa pun. Kebesaran kerajaan Bone tersebut tidak mungkin untuk dicapai oleh orang lain sehingga bentuk-bentuk sakral diupayakan untuk membangun kepercayaan diri, mental, dan semangat kalangan bangsawan maupun masyarakat untuk membangun Bone. Hal ini dapat memberi pelajaran dan hikmah yang memadai bagi masyarakat Bone saat ini, dalam menjawab dinamika pembangunan dan perubahan-perubahan sosial, perubahan ekonomi, pergeseran budaya serta dalam menghadapi kecenderungan yang bersifat global.
Selain itu, Pemerintah (Bupati—Raja) dalam penyelanggaraan pemerintahan sangat perlu mengedepankan azas kemanusiaan dan musyawarah. Seperti pesan Kajaolaliddong (1507-1586) yang pernah disampaikan kepada Raja Bone bahwa terdapat empat faktor yang membesarkan kerajaan. Keempat hal tersebut, yaitu; (1) Seuwani, Temmatinroi matanna Arung Mangkaue mitai munrinna gaue (Mata Raja tak terpejam memikirkan akibat segala
perbuatan); (2) Maduanna, Maccapi Arung Mangkaue duppai adaq (Raja harus pintar menjawab kata-kata); (3) Matellunna, Maccapi Arung Mangkaue mpinru adaq (Raja harus pintar membuat kata-kata atau jawaban); (4) Maeppa’na, Tettakalupai surona mpawa ada tongeng (Raja tidak lupa menyampaikan kata-kata yang benar).
Penutup
Prosesi Mattompang Arajang seharusnya berimplikasi kepada para raja, Bupati, pejabat beserta masyarakat agar tetap berfikir jernih dan tetap menjaga solidaritas, persaudaraan, kerukunan dan berjalan dalam azas-azas kebenaran, etika, moral, adat, dan agama. Terkhusus kepada Bupati Bone agar tetap berfikir sehat dalam mengambil segala keputusan demi kepentingan masyarakat dan warganya demi mewujudkan cita-cita nenek moyang. Mattompang Arajang adalah bentuk saling menghargai satu sama lain dalam hidup bermasyarakat dan tetap menjaga sopan santun serta etika dalam kehidupan sosial, membersihkan diri dan tidak memandang rendah sesama mahluk hidup ciptaan Tuhan. Melalui ritual adat Mattompang Arajang diharapkan konsep sipakatau, sipakainge, dan sipakalebbi dapat dibumikan kembali sehingga menjadi tatanan yang akan tetap lestari dalam masyarakat Bone. Daftar Pustaka
Barthes, Roland. 1983. Mitologi (terjemahan). New York: Hill & Wang.
--------------------. 1990. Imaji Musik Teks (terjemahan). London: Fortana Press.
Culler, Jonathan. 2002. Seri Pengantar Singkat: Barthes (terjemahan). New York: Oxford University Press. Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Fiske, Jhon. 1990. Cultural and Communication Studies, sebuah pengantar paling komprehensif. Bandung: Jalasutra Rahman, Nurhayati, 2006. Cinta, Laut dan Kekuasaan dalam Karya Lagaligo. Makassar: Lagaligo Press. Saussure, Ferdinad de. 1988. Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada Universty Press. Sibarani, Robert. 2004. Antropologilinguistik. Medan: Poda.
Reviewed by idiomatik
on
May 17, 2022
Rating:

Saya suka berbau kebudayaan
ReplyDelete