Gonjang-ganjing perihal Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) telah menjadi sorotan masyarakat Indonesia. Setelah disepakati dalam rapat Paripurna DPR tanggal 12 Mei 2020. Draf RUU itu dikirim ke pemerintah sebagai inisiatif DPR. Ketika DPR menunggu surat presiden (surpres) dan daftar inventaris masalah (DIM) sebelum memulai pembahasan. Masyarakat Indonesia keburu sudah berpolemik tentang RUU ini. Kritik tajam datang dari Front Pembela Islam (FPI). Ormas ini menyatakan menolak RUU HIP karena tidak mencantumkan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme atau Marxisme-Leninisme. Mereka memandang bahwa RUU HIP beraroma komunisme atau sosio-marxisme. Bahkan, pada tanggal 2 Juni 2020, FPI menggandeng GNPF Ulama dan PA 212 membuat surat pernyataan bersama. Salah satu poinnya, kelompok ini menolak RUU HIP karena berpotensi memicu kebangkitan komunisme.
Penolakan semakin menguat setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan maklumat pada 12 Juni 2020. MUI menolak keberadaan RUU HIP karena dinilai mendegradasi Pancasila menjadi Ekasila. Dalam pasal 6 ayat (1), RUU HIP menyebut ada tiga ciri pokok Pancasila yang bernama Trisila, yaitu ketuhanan, nasionalisme, dan gotong-royong. Lalu pada ayat (2), Trisila dikristalisasi dalam Ekasila, yaitu gotong
royong (https://www.cnnindonesia.com/nasional/Selasa, 16/06/2020).
"Pancasila adalah satu alat mempersatu, yang saya yakin seyakin-yakinnya bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke hanyalah dapat bersatu padu di atas dasar Pancasila itu," (Soekarno, 1958). Pernyataan ini diucapkan Sukarno tanpa ada keraguan di dalamnya. Keyakinan seorang pemimpin sebuah bangsa dengan beragam ras, suku, agama, maupun budaya. Kalimat yang menggambarkan sebuah kepercayaan penuh, tidak sangsi, bimbang, apalagi galau. Hal ini dibuktikan dengan penyebutan kata yakin diulang sebanyak tiga kali. Sebuah pernyataan yang seharusnya tidak perlu lagi diperdebatkan.
Sebelum gagasan pancasila diterima. Pada tanggal 1 Juni 1945, sebenarnya Bung Karno telah menawarkan tiga gagasan mengenai dasar negara Indonesia merdeka. Tiga rumusan dasar negara yang ditawarkannya yaitu: Pancasila, Trisila, dan Ekasila. Namun yang disetujui BPUPKI adalah Pancasila, setelah terjadi kompromi dan permufakatan sesama The Founding Fathers kita. Jadi, menjadi aneh kalau dasar Negara ini hendak diutak-atik lagi menjadi bagian yang lebih kecil. Seharusnya, Pancasila menjadi dasar Negara yang tidak boleh lagi bergeser dari lima sila final yang terkadung di dalamnya. Nilai-nilai dalam lima sila tersebut telah berterima di seluruh wilayah NKRI dengan segala perbedaan di antara warga masyarakat Indonesia. Jangan sampai konsep atau gagasan dari sejumlah pihak yang menginginkan penyegaran dalam nilai-nilai pancasila menjadi bomerang bagi seluruh rakyat Indonesia “karena nila setitik, rusak susu sebelanga”.
Mari mengingat kembali ke masa lalu. Awal munculnya Orde baru dianggap menjadi angin segar dalam kehidupan berpolitik dan berdemokrasi. Pasalnya, Orde Lama berada di bawah otoritarianisme Sukarno yang melegitimasi oligarki politiknya dengan dasar revolusi belum selesai. Akan tetapi, orde baru justru melanjutkan politik oligarki Orde Lama dengan lebel pragmatisme pembangunan. Atas nama pembangunan yang terus dielu-elukan oleh Suharto, masyarakat Indonesia justru harus terjerembap dalam lumpur tirani otoritarianisme baru.
Selama tiga puluh dua tahun rezim otoriter Suharto berkuasa, akhirnya tumbang dengan mengerikan. Demontrasi, kerusuhan, penjarahan, pembakaran, hingga runtuhnya ekonomi Indonesia adalah buah dari kekuasaan serba represif. Kekuasaan yang dilanggengkan dengan penindasan, pengekangan, penekanan, dan penahanan tidak akan bertahan lama. Kita tentu tidak ingin mengalami masa-masa kelam tersebut. Oleh karena itu, pembahasan RUU HIP ini harus mendengar seluruh Stakeholder dari semua golongan, partai, akademisi, sejarawan, budayawan, praktisi, dan lain-lain. Dengan demikian, keputusan yang diambil dalam pembahasan RUU HIP dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk resiko dalam implementasi keputusan tersebut dapat ditanggung bersama.
Bernostalgia sejenak ke masa penderitaan dalam otoritarianisme Suharto. Ribuan jiwa menjadi korban di Aceh, Timor Leste, dan Papua selama Suharto berkuasa. Daniel Randongkir dari Lembaga Studi Advokasi Hak Asasi Manusia (Elsham) Papua menyatakan bahwa terdapat lebih dari 2 ribu kasus pelanggaran HAM di Papua, dengan korban jiwa diperkirakan lebih dari 3 ribu orang (https://www.bbc.com/ 22 Mei 2018). Di Timor Leste, setelah pemerintahan Suharto menginvasinya menjadi provinsi ke 27 pada tahun 1975, sebanyak 102 ribu orang Timor meninggal. Dari jumlah itu, ada lebih dari 18 ribu orang yang dibunuh atau hilang, sementara 84 ribu orang meninggal akibat kelaparan dan sakit parah (CAVR, https://www.bbc.com/ 22 Mei 2018).
Hasil investigasi Komnas HAM, dalam kurun waktu sepuluh tahun berlangsungnya operasi militer telah menyebabkan sedikitnya 781 orang tewas, 163 orang hilang, 368 orang mengalami penyiksaan/penganiayaan dan 102 perempuan mengalami pemerkosaan di Aceh (https://nasional.kompas.com/read/2016/05/25). Kasus Pulau Buru telah menyebabkan pembantaian ribuan warga, penyiksaan/penganiayaan, dan pembuangan ke pulau Buru. Hukuman mati terhadap residivis, bromocorah, gali, preman tanpa melalui pengadilan ini dikenal sebagai "penembakan misterius" yang terjadi sepanjang 1981-1985. Jumlah korban jiwa akibat kebijakan mencapai kurang lebih sekitar 5.000 orang, tersebar di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bandung. (Laporan Amnesty Internasional, 31 Oktober 1983; "Indonesia-Extrajudicial Executions of Suspected Criminals").
Peristiwa Tanjung Priok 1984, menyebabkan orang meninggal sebanyak 24 orang, 36 terluka berat, 19 luka ringan. ("Laporan 5 Sub Tim Kajian, Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Soeharto", Komnas HAM, 2003). Kasus Talangsari 1984-1987 mengakibatkan jatuhnya korban jiwa sebanyak 130 orang meninggal, 77 orang mengalami pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, 53 orang terampas kemerdekaanya, 45 orang mengalami penyiksaan, dan 229 orang mengalami penganiayaan (Laporan Ringkasan Tim ad hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Talangsari 1989, Komnas HAM, 2008) (https://nasional.kompas.com. 25/05/2016). Dan, banyak kasus lain yang menyayat hati di tengah slogan memabukkan “pemerataan pembangunan nasional menuju masyarakat adil dan makmur”.
Sederet peristiwa kelam Indonesia seharusnya menjadi filter bagi lembaga Negara seperti eksekutif legislatif-yudikatif untuk mengeluarkan sebuah kebijakan prinsipil, terutama haluan ideologi negara. Undang-Undang yang telah disahkan akan menjadi hukum atau norma tertulis bagi masyarakat. Hukum mengatur masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga dapat menciptakan keamanan, ketertiban, keteraturan, dan kenyamanan bermasyarakat. Sifat perundang-undangan yang telah disahkan adalah mengikat atau semua warga negara wajib menaatinya. Oleh karena itu, eksekutif-legislatif-yudikatif seharusnya memiliki kesadaran penuh dalam menyusun sebuah rancangan undang-undang. Bukan berdasarkan subjektivitas, emosi sesaat, kepentingan golongan, atau usulan sepihak partai tertentu. Salah menyusun dan menetapkan undang-undang akan berakibat kepada perubahan tatanan sosial-budaya masyarakat. Lebih fatal lagi, dapat memunculkan ketidakpercayaan masyarakat pada hukum dan institusi institusi penegak hukum.
Hal yang sama terjadi ketika masyarakat Indonesia memilih pemimpin dan wakil mereka (pemilu eksekutif legislatif). Masyarakat Indonesia dalam pemilu akan menentukan pilihan mereka berdasarkan kesadaran penuh. Tidak berhalusinasi atau memilih calon dengan tebak-tebak buah manggis. Memilih pemimpin atau wakil legislatif harus mempertimbangkan kemampuan kapabilitas orang yang dipilih. Oleh karena itu diperlukan kampanye terbuka. Melalui forum kampanye masyarakat bisa menilai pemimpin yang memiliki kempuan leader dan kompetensi di bidangnya. Masyarakat memilih pemimpin berintegritas, berkarakter, teguh pada prinsip, dan amanah. Jangan pilih pemimpin yang tidak menempatkan kepentingan masyarakat luas di atas kepentingan pribadi, keluarga, atau golongannya. Salah memilih pemimpin akan merusak arah perjalanan bangsa Indonesia ke depan.
Kembali kepada riuh RUU HIP, lagi-lagi masyarakat Indonesia menyerahkan sepenuhnya kepada kedewasaan berpikir pemerintah dan badan legislatif dalam menentukan nasib rancangan undang-undang tersebut. Mereka merupakan representasi rakyat Indonesia. Jadi, suara rakyat, pun suara mereka. Pada pihak lain, masyarakat Indonesia harus pula bijak dalam menyikapi polemik ini. Jangan memunculkan kecurigaan dan opini tanpa dasar. Atau menghubung-hubungkan kemunculan RUU HIP dengan aktivitas lain yang tidak jelas argumentasinya. Masyarakat harus cerdas melihat isu yang dihembuskan oleh politisi maupun ormas. Kita jangan terjebak dalam saling lempar tudingan tak berbasis pada data empiris. Harus diingat bahwa banyak orang yang senang memancing di air keruh atau mengambil kesempatan dalam kesempitan. Semoga Indonesia menjadi negara maju dan kuat sesuai UUD 1945 yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Amin.

Mantabbb 👍👍
ReplyDeleteSuka juga yang ini.. lanjut pakk 👍👍
ReplyDelete